Wednesday, December 04, 2002

Yang ini Cerita Lama, Dan ingin kukenang.

Fragmen kehidupan si Tole
Terboyo: Kenangan diantara manusia manusia



Kekasih,
malam ini langit tak berbintang, rembulan tak menampakkan parasnya, dankegelapan menyeruak di luar sana. Bersama iringan lembut musik Balawan dan Kitaro, aku menuliskan ini, tuk membawamu pergi jauh, ke satu kisah tentang anak manusia yang mencari arti kemanusiaannya di semua sisi kehidupan yang belom lunas di bayarnya.



Yang pertama, kuingin membawamu ke satu tempat yang tak kan pernah hilang dari ingatan, dari hati yang paling dalam. Tuk bisa menikmati tulisan ini, jangan ragu tuk menghadirkan dirimu didalam cerita ini, seperti juga diriku.



Terboyo, sebuah desa, tak jauh beda dari desa lain di Semarang, Jawa tengah. Satu hal yang membedakannya, disana terdapat sebuah terminal yang menjadi persinggahan dan tujuan banyak anak manusia yang menjalani kehidupannya.
Terminal itulah yang akan kita tengok malam ini, awal dari perjalanan kita.



Jika saja dirimu bisa terbang ke atas awan, dan terbang tinggi diatas terboyo, yang kan engkau liat tak lebih dari sebuah alfabet T, karena bentuknya memang seperti itu adanya. Perhatikan hurup T itu. Pada bagian atas, disana banyak pertokoan dan kontrol terminal itu berada. Sementara pada kakinya,rumah makan dan tempat parkir bus berada. Dibagian itulah kita kan meneropong jauh lebih dalam.




Disana, manusia dari berbagai lapisan, dari berbagai kalangan dengan mudah kamu temui.
Mereka yang dari kalangan terpelajar, sampai yang tak mengenal besaran rupiah, dari yang nyeker sampai yang bersepatu mengkilap. Yang tak berbaju, sampai yang gemerlap. Semua ada. Copet dan jambret,..begundal dan pecundang,...polisi dan penegak aturan resmi...semua ada.



Terutama dimalam hari, kehidupan itu terlihat betul maknanya. Tatkala cahaya rembulan datang dan melati yang tak lagi putih menampakkan keharumannya. Baiklah kita mulai berada didalamnya. Di sebuah rumah makan masakan padang, yang didalamnya tak sekadar makanan yang dijual, seorang cowok kurus yang belom bertato menjadi kasirnya yang tuk akrabnya kita panggil dia si Tole. Disana, banyak hal bisa di temui, dan kita mulai dari cerita disatu malam itu.



Satu malam, seorang bapak tua datang, duduk dan memesan segelas kopi. Kumis dan rambutnya yang
terlihat rapi, kemeja dan smua yang dikenakannya, menyiratkan ia bukan orang kebanyakan. Ya, memang bukan. Ia seorang wirausahawan yang menggeluti bisnis yang cukup njelimet tuk diceritakan disini. Dari selera musiknya, Si Tole tahu ia serang yang lembut dan menikmati hidup dengan kelembutan hati. Ia meminta si Tole tuk memutarkan satu tembang jawa, yang melegenda di kalangan penggemarnya, Yen Ing tawang ono lintang.



Tak lama, seorang ibu² datang, dan duduk di sebelahnya. Si ibu, yang berbadan tambun itu pun memesan segelas kopi dan mereka menikmatinya berdua di kursi yang bersebelahan. Perbincangan akrab tampak diantara mereka. Sesekali tertawa bersama bersamaku, dan aku hanya tersenyum melihatnya. Tak lama, pagi menjelang, mereka pergi dan berlalu dari tempat itu, entah kemana.



Malam malam berikutnya, bukan sesuatu yang aneh jika mereka datang bersamaan atau satu diantara
keduanya menunggu dengan segelas kopi. Seiring dengan itu pula keakraban diantara kami bertambah,
dan tanpa diminta, Yen ing tawang selalu mengiringi kehadiran mereka. Belakangan kutahu, mereka sepasang kekasih yang mencari jiwa muda mereka yang lama hilang.
Ah, begitulah puberitas kedua? hahhahaha...kita pun kan begitu. Dan keakraban itu kemudian merubah cara mereka memanggil satu sama lain, bukan lagi pak atau bu, tapi mami dan papi....



"Piye le? cocok orak papi karo mami?", si papi bertanya.
"Cuooocok wes....", timpal si Tole.



Dihari lain, tatkala satu diantara keduanya tak hadir, pertanyaannya selalu sama, "papi(mami) ndi le?"




Cerita lain dimalam lain, sekuntum melati yang tak lagi putih datang.
Ia memesan dua bungkus nasi dengan lauk yang seringkali di image kan sebagai simbol keperkasaan.



"Kok dua? Buat sapa aja?"
"Onok wesss...", jawabnya sambil nyengir kuda.



Dari dekat terlihat, ada sesuatu yang indah dilihat, karena ternyata hanya satu lapis
pembungkus badannya, didalamnya losss :P Siluetnya begitu indah, seperti keindahan mereka yang masih terlihat putih berseri.
Sentuhan sentuhan kecil mendarat, dan dia teriak teriak,



"Semprul kon iku Le..!!"



Tole hanya nyengir, dan dia pun sambil nyengir, kadang membalas kepada si kecil yang liar.
Laris betul bantalnya bantalnya, sampai pernah menawariku bersama
yang dijawab si Tole dengan lembut,



"Aku jeh Ting ting weeee..."



dan seperti biasa, ia hanya berkomentar sambil ngakak,



"Ting ting bathukmu!!"



Yang seperti itu bukan satu, juga bukan dua. Lebih dari itu, karena satu keuntungan dari
sekuntum melati adalah keharumannya walau ia tak lagi putih. Orang tetap suka membelainya.
Adakah yang salah? Tidak, kurasa. Setiap melati berhak atas
hidupnya dan ia menjalaninya dengan kekuatan paling asasi yang dimilikinya,
walau kutahu mereka seringkali meneteskan air mata dalam tawanya dan meringis
dalam bingkai senyum. Mau gimana lagi? Mami yang sebelomnya pun bagian dari itu.



Begitu terus dari malam ke malam. selalu ada sesuatu yang menarik dan membuat
kepala menerawang kedalam dan tak ingin menundukkannya lagi. satu kali terdengar seorang begundal tertangkap mencopet,
kali lain seorang yang terlihat wah..menari nari dan menyanyi banyak lagu
tanpa nada tanpa irama kecuali kekosongan jiwa. Di waktu lain seorang bapak meminta
tolong karena kehabisan bekal perjalanan, sementara jalannya masih begitu jauh.



Kekasih,
di depan rumah makan itu terdapat barisan kios kios kecil. Satu yang tepat di depan, kios milik pak No, sesepuh terminal. Dagangannya cukup banyak, dan cukup ramai yang singgah. Seringkali tatkala kesepian datang, langkah pasti si Tole mengarah kekiosnya, walo tuk sekedar membaca koran yang terbit sore di semarang.



Bapak yang satu ini berbeda dari kebanyakan mereka yang lain disana.
Ketekunannya beribadah, kelugasannya bergaul dan ketekunannya menziarahi makam para wali.
Nyaris setiap malam Jumat kliwon bapak ini berziarah ke makam Sunan Kalijogo.
Mencari pangestune kanjeng sunan, katanya dulu.



Bapak yang satu ini, mengerti betul apa dan bagaimana kehidupan di dalam rumah makan.
Bagaimana si Tole tak punya rokok tuk di isap, bagaimana kami menghadapi Bos yang tak mudah melepas rupiahnya, bagaiamana satu satu mereka berasal. Pak No memang bijak. Setidaknya dari jidatnya yang kelimis orang kan tau dia bijak. *apa coba* sampai kini, setiap kali langkah kaki menginjak bumi terboyo, tak sekalipun kesempatan menyalaminya kulewatkan. Terboyo tak sekedar sebuah terminal, ia adalah sebuah makna dan perjalanan, yang dari sana langkah kaki ini berlanjut sampai saat saat yang entah kapan kang berakhir.



Satu pagi, dihari sabtu, seorang gadis manis datang. Potongannya imut dan mungil.
Rambut pendek, tinggi tak jauh beda dengan si Tole, lesung pipinya manis, dan tubuhnya yang bohai. Tergopoh gopoh ia datang dan mencari telepon koin, yang memang tersedia di rumah makan itu, dan bertanya bagaimana mencari nomer telepon seseorang yang dicarinya dari buku telepon. Berkali kali buka dan di telepon, tak juga ia temui yang ia cari, sampai akhirnya ia menyerah.
Ia berlalu kemudian.



Sabtu berikutnya, terlihat ia kembali datang. Kali ini ia tidak mencari siapa siapa dan tidak menelepon siapa siapa. Ia hanya singgah karena pengen pulang kampung yang tak begitu jauh dari Semarang. Tole dan dia berkenalan, saling sapa. Tak lama si Tole tahu siapa namanya dan dimana kuliahnya. Aha...anak kuliahan :)
Tole betah berlama lama berbincang dengannya, tampak sekali ia cerdas dan mampu membawa diri dengan baik juga mampu menghargai setiap orang,
anak terminal sekalipun. Seringkali ia minta diri tuk melanjutkan perjalanan, dan setiap itu pula si Tole menahannya agar berlama lama disana.



Begitu terus setiap sabtu, ia hadir tuk singgah dan entah apa namanya...satu perasaan kerinduan itu muncul. Dan kerinduan itu kan terobati ketika sosok yang uhmm...mirip yuni shara itu muncul. Yah, ia mirip yuni shara, namun lebih tinggi.




Lalu, cerita berlanjut.
Satu hari sabtu ia tak hadir, tanpa kabar. Begitu pula dengan sabtu berikutnya dan berikutnya.
Sementara kerinduan semakin dalam. Apa yang musti dikerjakan? Tole tau nomer telepon kost nya, tapi ia tak lagi disana. Yang si Tole tahu hanyalah kampusnya, dan itu ada di buku telepon.



Dengan segala tekad kemudian Si Tole tekan nomer yang ada, yang diseberang sana
seorang cewe menganggaknya. Si Tole bertanya padanya bisakah aku mencari si gadis ini dan
bicara padanya? Si cewe yang diseberang sana tersenyum dan berkata,



"Disini mahasiswanya ratusan mas. Sulit mencarinya".



Oh,..
Tole menyadari sebuah ketololan, yang kan selalu si Tole ingat.
Yang dia cari kan seorang mahasiswa yang bisa jadi satu diantara ratusan yang ternyata
tak semudah mencari siswa SMU yang setiap gurunya mungkin kenal. Bodoh betul!!



Tapi dasar anak terminal yang suka mendengar suara suara lembut,
Tole kembali mencoba tuk menelponnya kembali.
Sebegitu seringnya, sampai kemudian Tole dan dia yang menerima begitu apal dan berkenalan.
Berkenalan dengannya kemudian adalah sebuah titik tolak perubahan yang besar dalam kehidupan si Tole.
Mereka belom bertemu dan mereka berbincang. Awalnya menggoda, namun perlahan dan pasti godaan dan keusilan itu berubah menjadi sebuah diskusi yang membuka mata hati dan telinga.
Pernah si tole bertanya padanya apa arti itu "introvert". Ia tak segera menjawab, tapi berjanji kan menjawabnya besok.
Keesokannya kembali Tole menelepon dan jawaban itu si Tole dapat. Begitulah seterusnya, selalu ada pertanyaan dan ada sebuah jawaban. Dia, mbak Herny. Ia pun, kemudian suka rela ketika kuminta tuk ber korespondensi dan berbagi cerita, dan dari nya kudapat spirit baru tuk memulai sesuatu yang baru.
Sebuah pertanyaan yang terngiang di kepala setiap kali Si Tole ingat dia adalah satu,"apakah kamu hanya puas sekedar menjadi kasir di sebuah rumah makan? tidakkan kamu berfikir seorang seperti kamu menjadi sesuatu yang berbeda, menjadi lebih jauh dari itu?"



Yah...pertanyaan jitu yang kemudian Si Tole jawab seminggu emudian,



"mbak, aku pengen berhenti dan pengen kuliah lagi"



"Kejutan kejutan kejutan!!!" begitu katanya. Dan,...
langkah selanjutnya adalah kembalinya seorang petualang dari tempat ia mencari
dirinya tuk kembali ke satu titik tolak yang merubah kehidupannya kelak..
Sebulan setelahnya, si kasir tak lagi disana...ia merintis tuk bisa melanjutkan
jenjang pendidikannnya,..tuk mencari diri yang lebih mendalam di situasi yang berbeda..
tak lagi diingatnya si gadis yang mirip yuni shara itu, walo dia sempat mencari dan
ternyata ia seorang marketing ristra House...pantes aja cantik :)



Yang pasti adalah, bahwa hubungan si Tole dengan Mbak Herny tak selesai disana,..korespondensi mereka terus
bersambung,...sampai sebuah kalimat tuk si Tole, yang kemudian seringkali Ia kutip,



"Kekeras kepalaanmu bisa di positifkan menjadi sikap pantang menyerah"



dalam korespondensinya, terkadang mereka membahas apa itu cinta,..apa itu hidup..dan bagaimana sebuah perbedaan musti dilihat..bagaiman sebuah makna cinta di tumbuhkan....
dan bagaimana sebuah puisi menyiratkan banyak makna...
Satu kali si tole menerima kiriman puisi Rendra...tentang
adanya burung yang terbang dengan sayap terbakar..terbang dengan dendam dan sakit hati...gulita pada mata serta nafsu pada cakar....




Rupanya, si Tole selama itu adalah sosok yang melarikan diri dari
fakta dan kenyataan tentang kegagalannya mencapai sebuah cita cita.
Ia melarikan diri dari kenyataan dan mencari kenyataan baru.
Dalam perjalanannya,..si Tole Menemukan kenyataan hidup yang beragam yang pasti kan
mempengaruhi pemikiran dan langkahnya di kemudian hari.
Bahwa, setiap orang mungkin bermasalah, tapi ia bukan satu satunya.
Karena diluar sana, begitu banyak masalah dan begitu banyak fenomena kehidupan tampak.
Ia belajar didalamnya.



Kekasih,..
mengapa kutuliskan ini untukmu...
karena aku hanya ingin bercerita...dan bertutur padamu..sebuah perubahan acapkali
membutuhkan satu faktor tersendiri tuk terjadi...
dan dirimu...hadir tatkala sebuah perubahan lain akan terjadi dan kuyakini akan terjadi.
Masih ingin meninggalkannya..?



"yen ing tawang ono lintang...aku ngenteni tekamu cah ayuuu.."

No comments: