Monday, December 09, 2002

Serial Kampungan

Kampung Halamanku dalam kenangan.



Demak adalah sebuah kota kecil yang teramat kecil dipesisir utara pulau jawa. Kecil namun menggema.
begitu sejarahnya. Menjadi pusat persebaran agama islam di tanah jawa, juga menjadi pusat buah belimbing
yang menyegarkan. Disini dulu para wali memuali syiar agama islam yang didukung dengan latar kerajaan islam demak.
Namun kini, sisa kebesaran itu tak lagi tampak, hanya beberapa makam yang dikeramatkan, masjid yang di agungkan -Masjid Agung Demak dan masjid Agung
sunan kalijaga di Kadilangu- dan makam wali. Itu saja yang terlihat, namun cukup kuat menjadi brand image kota demak. Sementara tilas-tilas peninggalan kebesaran
kerajaan demak nyaris tak terlihat. Bahkan tentang dimana pusat pemerintahan kerajaan itu berada, sampai kini masih menjadi polemik. Sedangkan tentang belimbing,
di demak yang merupakan sentranya itu, memang tumbuh dengan subur. Blimbing Betokan yang cukup populer. Betokan sendiri adalah nama sebuah desa yang sudah rada maju di demak.
Itu berarti, di desa itulah sentra belimbing berada.

Dua latar belakang itu membuat kota demak memiliki nama lain, kota wali dan kota blimbing. Sebuah julukan yang khas,
yang rata rata setiap kota memilikinya. Tentu saja dengan masing-masih khasnya. KOta Kudus, tetangga kota demak, karena terdapat banyak
pabrik rokok, disebutlah ia sebagai kota kretek. Kota Kudus juga tak jarang pula disebut kota jenang, karena disana banyak berdiri pabrik jenang (juadah/dodol).
Begitu juga Pati, yang dikenal dengan daerah pertaniannya yang luas, dikenal sebagai Bumi Mina Tani. Kota lain, dengan ke khas-an yang lain, mempunyai sebuah atau dua nama lainnya.

Kota demak, bukan kota yang besar. Ia hanya besar dalam sejarahnya. Yang biasa disebut kota, di demak, tak lebih dari sederet pertokoan, pecinan (pertokoan milik etnis cina) yang ada di dekat alun-alun kota
dan pasar demak yang sedasawarsa lalu terbakar. Jadi yang namanya kota, tak lebih sepanjang tiga kali panjang lapangan bola, yang terletak satu garis yang dipenuhi pertokoan. Belakangan,
panjang garis itu sedikit bertambah, kearah utara, diseberang kali jajar. Kali jajar adalah satu kali yang cukup besar yang membelah kota. Airnya kadang bersih, tak jarang kuning berlumpur.
Namun, banyak yang memanfaatkannya, entah sekadar untuk mandi atau mencuci kedelai pada pabrik tempe. Sebuah kali lain yang terkenal dari kota ini adalah kali tuntang, yang menurut kabar tetua dulu,
adalah goresan tongkat para wali. Bagaiamana benarnya? Walahu alam.

Bukan di kotanya, melainkan di salah satu desa dipinggirnya-lah aku dilahirkan. Desa kadilangu namanya, sebuah desa yang mewarisi
peninggalan leluhur, berupa sebuah makam wali, Kanjeng Sunan kalijaga. Entah kenapa, walau aku terlahir di desa kadilangu, tetap saja di KTP dan SIM ku, aku terlahir di Demak. Bukankah kadilangu
lebih spesific? Mungkin sudah begitu dari sononya ya.

Lebih menukik ke tempat dimana aku dilahirkan, adalah sebuah kampung kecil, yang tak juga tenar, namun cukup mendapat tempat yang indah dihatiku: kampung pecaon. Sebuah nama yang unik dan menarik,
karena ternyata banyak cerita mengenai kampung ini. Dari asal namanya, maupun dari perilaku dan kehidupan sehari hari disana. Akan kututurkan smua untukmu, satu per satu. Karenanya, beberapa tulisan ini
kutambahkan sub judul kecil, serial kampungan.

Nama pecaon, ada beberapa versi. Pertama, ia berasal dari kata cao atau cincau. Yang biasa dan doyan sama es campur tentu tau dengan barang ini. Warnanya hitam,
dan lembut di makan. Dibulan puasa, pelengkap minuman ini laris di jual dimana-mana. Disamping karena mudah mengolahnya, juga yang terpenting ; murah. Dari nama makanan itulah, kampung itu berasal, karena lagi-lagi,
kampung itu adalah pusat penghasil cao. Maka disebutlah pecaon, atau tempat pembuatan cao. Mudah kan orang memberi nama? Jika saja dulu ada makanan namanya "muda",
mungkin namanya kampung pemudan, atau jika disana tinggal seorang ratu yang manja, mungkin juga namanya pemanjan. ah, mudahlah itu, apa yang melekat di daerah itu, itulah namanya. Versi lain namanya,
adalah berasal dari kata "pecoh" atau "pecah", yang di imbuhi akhiran an, jadilah ia pecohan. Versi ini banyak diakui, karena ketika penulis masih kecil,
seringkali di plang nama di tulis sebagai pecoan. Apa itu pecoan? Seperti bahasa indonesianya, pecah, ia juga berarti perpecahan. Konon kabarnya, dikampung itu sering terjadi perpecahan antar kelompok di masyarakat.
Entah benar atau tidak, yang jelas semasa aku kecil semua berjalan dengan wajar. Memang, ada beberapa hal yang turut memperkuat versi ini, diantaranya kampung kami terbagi dua, pecaon lor (utara) yang rata-rata orang abangan
(meminjam istilah greetz) dan di pecaon kidul yang santri. Greetz, dalam priyayi-santri-abangan, membuat trikotomi tingkat kehidupan sosial di tanah jawa, yang oleh banyak pengamat dianggal tidak tepat, karena berada dalam wilayah yang berbeda.
Bagaimana tidak, priyayi-abangan berada pada wilayah keagamaan, sementara priyayi adalah wilayah strata sosial. Yang terjadi di kampung pecaon itu, lebih pada dikotomi santri-abangan. Santri di kampung kidul, dan para abangan
di kampung lor.

Kampung pecaon terhitung unik. Terletak di, derah pesawahan, namun hanya hanya satu-dua yang memiliki sawah. Kampung ini juga, di kelilingi banyak lokasi pekuburan. Jika kita berdiri sedikit diluar kampung, memandang kearah utara, disana ada pekuburan tua, yang
terlihat seram karena begitu rimbunnya pepohonan yang ada, disamping tempatnya jauh dari lalulintas manusia. Terlebih kalo malam, gelap banget. Lalu kita arahkan pandangan kearah barat, disana juga ada pekuburan. Yang ini tak terlalu seram,
karena terletak dipinggir jalan raya, yang menghubungkan demak dan dempet. Pun, disana ada lampu penerangan jalan kalo malam, jadilah ia tak terlalu merisaukan orang yang melintasinya dimalam hari. Tak perlu siap-siap celana dobel untuk
melewatinya. Tak cukup dua sudut itu, kearah selatan (kidul), ada satu makam lagi. Yang ini bukan makam umum, karena disini adalah makam sunan wijil. Bukan satu dari walisongo, namun ia di sebut sunan. Konon, ia adalah kerabat kesultanan demak dan yang dimakamkan disana
adalah kerabat dan para sentana (abdi) nya. Berbeda pula dengan kedua makam lain, makam ini sedikit menghasilkan bagi warga sekitarnya. Banyak peziarah, menziarahi makam ini dan meninggalkan sedikit uang untuk khasnya, yang sbeenarnya selain untuk perwatan,
adalah dibagi untuk kesejahteraan penjaganya.

Tentang makam, belum berakhir disana. Satu makam, yang banyak dikunjungi peziarah, adalah makam Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang wali penyebar agama islam di jawa. Peziarahnya berasal dari berbagai pelosok negeri, yang dengan sendirinya, membawa rejeki bagi
banyak orang disekitarnya. Mulai dari retribusi parkir, pedagang, dan pembimbing doa. Banyak yang beroleh rejeki disana. Bahkan dulu,
tatkala masih kanak kanak, pernah aku memetik rejeki yang tak sedkit, terutama ketika hari-hari besar tiba. hari-hari besar itu, adalah malam jumat kliwon atau malam-malam lain,
dimana peziarah ramai berziarah. Memetik rejeki yang bagaimana? teruatama ketika sorenya hujan, dan malamnya banyak peziarah yang membutuhkan alas koran untuk
berdoa disana, maka jualan koran bekas adalah pilihan jitu, disamping menjual kitab-kitab yasin yang berukuran kecil. Sungguh menyenangkan.

Kembali ke kampungku, ada banyak yang menarik untuk dilihat, bukan dengan mata telanjang, melainkan dengan mata hati, untuk mennelaah makna dibalik makna. Nanti, satu satu akan kuuraikan, dalam tulisan yang lain, agar ini tak terlalu panjang.

Dimasa kecil dulu, kuingat sebagai masa-masa indah yang takkan terlupakan. Bersama kawan sepermainan pergi memancing, memainkan layangan ketika musimnya tiba, berenang bersama di kali jajar -bukan dirawa rawa dengan gaya deepskin :P -,mermain-main dalam hujan,
dan dengan ketapel, menyasar burung-burung yang banyak ada di kebun. Jika, dalam perburuan itu dapat hasil banyak, biasanya ramai-ramai dinikmati bersama dengan meminta salah sorang ibu dari kami untuk memasaknya.
Begitu juga dengan bermain-main di kota, sering kami bersama sama. Mutar-mutar dipasar demak, untuk sekadar melihat tukang obat menawarkan dagangannya dengan atraksi sulap dan ularnya yang besar, atau dengan kenakalan kami, lewat disebuah kios buah sambil menyolongnya sebuah dua buah untuk kemudian dinikmati bersama. Ah, nakal.
Menarik jika dikenang. Di kampungku juga kala itu bisa dihitung dengan jari orang yang memiliki televisi, hingga seringkali, ramai-ramai warga kampung menonton bersama di sebuah rumah
warga yang memilikinya, nimbrung bersama, juga guyon (bercanda) bersama. Begitu juga dengan ibu-ibu dan mbak-mbak yang seringkali menghabiskan waktunya dengan kesibukan bersama, seperti metani (mencari kutu rambut berderet sambung menyambung),
yang kata orang itu tidak produktif, namun mengasyikkan. Suasana yang akrab itu terjalin bersama, terus dan tak disadari ikatan kekeluargaan di kampung itu begitu kuat.

Suasana akrab semakin terlihat bisa salah seoarang warga duwe gawe (punya hajat). Menyunatkan atau kawinan, selalu ramai. Ibu-ibu, dan anak remaja baik yang bisa masak atau tidak, ikut membantu yang punya hajat itu,
rewang istilahnya, yang artinya membantu. Semua bergembira, termasuk kami yang masih kanak-kanak, karena kemungkinan akan banyak hal menarik dalam acara itu, pemutaran video sebagai tanggapan, atau banyaknya jajan yang ada yang boleh kami nikmati. Dan yang pasti, kami makan enak
pada hajatan itu. Para bapak dan lelaki yang sudah dewasa, biasanya bahu membahu merias tempat perhelan gawe itu, dan saling bersenda gurau, penuh keakraban, namun jeleknya, biasanya pada malamnya mereka habiskan dengan keplek (judi kecil2an). Seperti sudah mentradisi, selalu ada keplek ini,
yang berlangsung sampai pagi, dirumah sang empunya hajat. Inikah tradisi abangan? aha, mungkin juga, karena jika para santri yang mengadakan, biasanya diisi dengan ceramah agama.

Tak hanya perkawinan atau hajatan yang di selenggarakan di kampung yang ramai. Yang musti keluar kampung pun juga ramai. Misalnya jika seorang pemuda di kampung kami, mendapat jodoh dari kampung, desa atau kota lain, kami sekampung akan turut menghadirinya. Istilahnya ngetutke penganten, mengiringi penganten.
Dengan ngetutke ini, biasanya kami berombongan satu, dua bahkan tiga bis mini berangkat bersama. Ramai dan menyenangkan, yang biasanya pula kami akan disambut dengan meriah di tempat yang dituju. Tetabuhan, bahkan tarian.

Bukan hanya kebahagiaan yang hadir di tengah kampung kami. Duka pun tak jarang menyelinap tanpa diundang. Banjir, tak sekali dua datang. Ia datang tahunan, seperti rutin dia datang. Bagi kanak-kanak seperti kami, itu berarti kegembiraan, karena kami bisa bermain-main dalam air, bisa gethekan,
bisa jalan-jalan dalam air, tapi tidak bagi orang tua kami yang pasti kesusahan. Harus meninggikan kasur, harus susah mencari bahan makanan, sulit mendapat bahan dapur. Demikian juga pemilik sawah yang rusak tanamannya, yang rugi karena modal sudah tertanam hilang. Itulah warna hidupnya, warna yang kadang terlihat buram.

Namun, seperti jaman yang terus berputar, waktu yang terus bergerak, perubahan perlahan dan pasti terjadi. Satu-satu kami yang kecil itu tumbuh dan besar, bersekolah, dan tumbuh menjadi dewasa. Satu-satu juga meninggalkan kampung, pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Pernah satu ketika, kampung kami begitu sepi, ketika sebagian besar pemudanya berangkat ke jakarta, karena banyak proyek disana. Lalu, kesunyian datang..begitu terus..dan kampung yang tak ramai itu tinggal kanak-kanak baru, yang mungkin merasakan kegembiraan seperti kami dulu. Lalu, tahun yang akan datang,
akan berganti lagi..yang tua perlahan minggir, terpinggir..yang muda mengambil alih..
begitu seterusnya. Menulis, selesai.


arif, calonarang.

dipersembahkan untuk yang terhormat mr. Pramoedya Ananta Tour,
entah sampai atau tidak kepadanya, yang jelas novelnya,
Cerita dari Blora, kucolong semangatnya. Thanks mr Toer.

No comments: