Friday, December 06, 2002

Aryati



Namaku Aryati.
Ismail marzuki, pernah menulis bahwa aku adalah mawar asuhan rembulan.
Ia memujaku dalam khayalnya, dan ia menghamba demi cintaku. Lengkap tulisannya begini,

"Aryati, dikau mawar asuhan rembulan.
Aryati, gemilang seni pujaan
Dosakah hamba, mimpi berkasih dengan Tuan
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam".

"Dosakah Hamba, memuja dikau dalam mimpi, hanya dalam mimpi.
Aryati, dikau mawar di taman khayalku, tak mungkin terpetik daku".

Begitulah Ismail Marzuki. Ia memujaku dengan penuh perasaan, dengan sepenuh hati.
Dihadirkannya diriku dalam khayalnya, dalam mimpinya dan ia ingin memetikku.


Tapi tidak demikian dengan Tole.
Ia tidak menyebutku sebagai mawar dalam asuhan rembulan.
Aku adalah melati dalam asuhan rembulan, katanya.
Awalnya aku tak mengerti, kenapa ia begitu, walau kelak ternyata dilengan kanannya
menempel setangkai mawar merah.
Belakangan kutahu, ia tak suka dengan duri.
Duri akan menusuk jarinya dan membuatnya meneteskan darah.
Ia takut meneteskan darah, enggan melihat darah
dan tak ingin menggenggam setangkai bunga, apapun itu, dengan tetesan darah.
Darahnya sendiri, ataupun darah yang lain. Ia ingin mengenggamnya dengan kelembutan.
Lain dengan melati, katanya, melati penuh keharuman. Ia juga adalah kesucian.


Namaku Aryati.
Kata orang orang, aku cantik, ayu dan manis. Beberapa orang mengatakan aku sexy, bahenol.
Tiada kata yang bisa melukiskannya, kata si Tole.
Begitu juga kata tetanggaku, kata temanku, kata Bundaku, tapi tidak kata Bapakku.
Aku tak pernah menatapnya sejak awal kelahiranku, awal bisanya aku berjalan,
awal bisanya aku bicara bahkan awal bisanya aku bercinta.
Bapak tak pernah melihat betapa cantiknya aku, begitu banyaknya lelaki berusaha menggapaiku.
Ia tak pernah hadir. Kata bunda, Ia tak layak kutulis sebagai "beliau".
Ia adalah lelaki dengan langkah tanpa suara yang datang, singgah dan berlalu juga tanpa suara.
Bunda adalah salah satu persinggahannya.

Entah dimana ia kini, aku tak peduli. Ia tak pernah hadir, dan ia tak bermakna apa apa bagiku.
Memang, sesekali aku merindukan belaian dan kasih sayangnya, seperti halnya mereka yang lain,
yang dengan lembutnya memanggil bapak dalam kesehariannya, berteriak bapak dalam letihnya
dan digendong bapak dalam lelahnya. Aku tak pernah merasakan itu dan kerinduan itu kadang ada.
Tapi begitu ingat bagaimana ia menjadikan Bunda sekedar sebuah persinggahan,
bagaimana ia memetik Bunda yang tak hentinya meneteskan darah, aku membencinya.
Kebencian yang tak juga mampu dilukiskan kata kata. Sakit, sungguh teramat sakit.

Seringkali, kebencian kepada bapak, membuatku buta dengan membenci semua lelaki. Yah, semua lelaki.
Dengan kecantikanku, kemolekan tubuhku, mereka kutundukkan satu satu. Mereka, lelaki terkadang terlihat sama,
tapi tidak semuanya. Dengan kecantikanku, aku dikejarnya dan aku mempermainkannya. Mudah saja, begitu menghambanya mereka dan memenuhi semua keinginanku, aku mencampakkannya. Seperti seekor kecoak tua,
jika aku sudah membalikkan badannya, tak mampu ia kembali seperti awalnya.

Satu satu, mereka yang mengejarku terpelanting dan terpeleset jauh.
Entah kemana mereka kan sampai, aku tak peduli.
Selamanya aku mampu mengendalikan diri dan tak satu dari mereka mampu meraihku, dulu.

Kini, Aku sudah lupa kapan, dan bagaimana aku pada akhirnya teraih.
Yang kuingat hanyalah ada satu kumbang tua yang cukup lihai membuatku terlupa pada semuanya,
dan membuatku tanpa sadar hadir dalam rengkuhannya. Aku meneteskan darah suci sementara kumbang tua itu
tersenyum penuh kemenangan. Beberapa lembaran rupiah ia tinggalkan di sampingku, yang membuatku meneteskan air mata.

"Cari dukun, jika mens-mu telat nantinya, "katanya sambil berlalu.

Begitu mudahnya dan begitu singkatnya semua berlalu.
Aku teringat Bunda dan ingin rasanya berteriak,

"Wahai bunda, begitu hinanya kita? Kita hanyalah persinggahan dan mereka berlalu tanpa suara".

Aku tidak mendengar balasan Bunda.
Bunda tidak hadir disini dan aku hanyalah mawar dalam asuhan rembulan.
Darah itu sudah menetes, dan tak kan ada lagi tetes darah nantinya.
Kedua dan ketiga kemudian, aku menikmatinya.


Namaku Aryati, mawar dalam asuhan rembulan.
Tidak seperti si Tole, aku menyukai mawar.
Sekuntum mawar merah kan terlihat demikian indahnya dalam temaram cahaya rembulan, pengasuhku.
Dipagi hari, embun yang melekat di kuntum-kuntumnya, menambah keelokannya tanpa kata.
Sedikit yang membedakanku dengan mawar ditaman yang segar dalam embun dipagi hari,
aku segar dalam embun di malam hari.
Bukan dalam tetes bening yang menyegarkan tapi dalam tetes peluh yang melemaskan.
Satu dua dan tiga desahan, dua atau tiga kali hentakan. Begitu mudahnya kulihat tetes itu tiba dan ia yang terkulai di atasku.
Aku menikmatinya sesekali, sering tidak, karena ia menjadi biasa bagiku.

Tak semua dari mereka yang singgah meninggalkan keindahan. Seringkali, justru kesakitan yang mereka tinggalkan.
Mulanya, ketakutan luar biasa yang muncul. Semua terasa perih, semua begitu nyeri. Persendian dan tulang serasa enggan menyatu. Aku bertanya, ada apa dengan si cantik ini?
Aku gelisah, sampai kuputuskan mencari ia yang mengerti. Seraya tersenyum penuh arti, ia yang mengerti hanya berkata agar lain kali aku mengunakan pengaman. Aah, basi.

Kedua dan selanjutnya, aku mengerti bagaimana mengatasinya.
Amoxicillin 500 mg, begitu akrab dan tersedia kapan aku perlu.
Yah, smua menjadi biasa dan aku semakin mengerti.
Terkadang aku ingin tersenyum bila mengingat ketololan awalku itu.
Kini, semuanya bisa aku mengerti.


Namaku Aryati, mawar dalam asuhan rembulan.
Kawan dekatku si Tole, partole dulu katanya, lengkapnya. Sebuah nama yang aneh dan biasa bagi orang kebanyakan seperti kami. Tapi apalah artinya sebuah nama, jika itu hanya sebuah tanda bagi kita tuk saling mengenal.
Adakah nama berarti lain? Mungkin ada. Bagi mereka yang yang terlahir dalam gelimang duniawi, yang kemudian melahirkan status sosial yang berbeda,
nama nama seperti nama kami, tak kan mungkin lah di gunakan. Ndeso memang nama kami, tapi biarlah.

Aku mengenal si Tole tidak dengan satu kesadaran yang wajar. Menggelikan malah, jika itu aku ingat kembali.

Malam itu, seusai tetes tetes akhir yang melelahkan, aku menikmati seteguk dua teguk minuman penghangat badan. Aku merasa hangat dan begitun hangatnya ia meraih sebagian kesadaranku. Aku melangkahkan kaki, dan melintasi tempat kerja si Tole. Sepertinya itu kali pertama kami bertemu.
Ia diam membisu. Tak ada sesuatu yang berubah padanya dengan kehadiranku, tidak seperti beberapa orang lain disana yang kemudian menelanjangiku dengan kedua matanya.
Aha, inilah dia, lelaki yang diam itu. Kusapa, dan kami berbincang. Perkenalan, seperti biasa. Cenderung dingin anak ini pikirku.

Dinginnya gaya si Tole, ternyata tak berarti dingin di hatinya.
Begitu kusebutkan namaku, ia beranjak. Tahukan ia kemana? Ia putar satu lagu indah untukku.
Namaku, menjadi judulnya. Aku tertawa, ia tertawa, dan kami tertawa bersama. Romantis dia.

Malam malam selanjutnya, seringkali aku singgah, walo tuk sekedar menyapanya. Ia bercerita, aku bercerita. Kami saling bercerita, sampai ia tau bagaimana aku.
Ia tak suka mawar dan ia suka melati. Aku sering menggodanya, aku sering merayunya.
Ia pun begitu dan kami saling merayu. Pinter dia dalam hal ini. Luar biasa.
Terkadang sampai pagi kuhabiskan waktu bersamanya, bersama juga kawan kawannya yang lain.

Pernah satu kali, aku pamerkan padanya siuletku dalam satu lapis.
Tangannya begitu terampil dan aku salah tingkah. Pinter, tapi ia tak mau lebih dari itu.
Mengherankan. Pernah pula aku iseng padanya, dan kutemui hal yang sama. Pagi itu rasanya badanku lemas, pura pura lemas sebenarnya, dan kusampaikan padanya dan kuminta ia menengokku seusai ia kerja. Ia mengerti dan datang tepat pada waktunya.
Begitu tahu ia yang datang, aku tersenyum dan kubuka satu satu pelapisku. Ia tertawa. Brengsek betul, hanya satu dua sentuhan seperti biasanya, tidak lebih dan ia berbaring disampingku.
Sambil menghisap Gudang Garam favoritenya, ia bertutur banyak,

"Aryati, aku cukup bahagia mengenalmu, tapi tidak dengan cara ini. Jika saja ini kutempuh, yang hadir bukan dirimu, tapi mereka yang jauh dariku yang kan hadir. Bunda, adindaku semua adalah kaummu. Dan aku bukan mereka yang selama ini kamu hadapi".
"kau marah?"
"Tidak. Aku sayang kamu".

Sejak itu, aku tak pernah mencobanya. Tak pernah mau mencobanya.
Ia merasa cukup hadir sebagai kawan dalam duka dan senyumku.
Disaat senggangnya, ia bertandang dan berdua kami menikmati jalan jalan kota.
Indah, jika dikenang. Manis, teramat manis. Tapi aku adalah Aryati, mawar dalam asuhan rembulan.
Aku tak pernah terlepas dari pengasuhku, dan aku tetap menghadapi tetes tetes itu.

Keinginan keinginan yang berbeda seringkali muncul dalam lamunanku.
Dalam kesendirian, aku sering berkhayal, Ismail Marzuki benar benar hadir dalam hidupku.
Jikalau Ia benar hadir, kan kuyakinkan padanya kan mampu meraihku,
dan aku tak lagi menjadi asuhan rembulan, melainkan asuhannya.
Tapi ini mimpi, dan aku belum berani tuk meraih mimpi itu.
Salahkah jika memang keberanian itu hilang? Bagaimana aku harus mengembalikannya?

Hari demi hari kulalui dengan senyum dan tawa terus menghiasi bibirku.
Tak ada dia yang tahu di baliknya, ah, mungkin hanya Titik Puspa yang mengetahui itu,

"dosakah yang dia kerjakan
sucikah mereka yang datang
kadang dia tersenyum
dalam tangis...
kadang dia menangis
didalam senyuman..."


Begitu teduhnya ia bertutur, membuatku percaya, ada mereka yang masih mengerti diriku
walau acapkali kusadari Aku bukan siapa siapa. Dalam langkah sendiriku, terkadang aku merasa, dunia menatapku, tatapan dengan penuh hinaan,
tatapan yang penuh rasa sinis, dan beberapa tatapan rasa butuh. Adakah bapak merasakan ini? aku tak tahu. Adakah kumbang tua yang pertama kali melemparku kedalam asuhan rembulan tahu betapa sakitnya aku sekarang?
Ah..aku merasa sakit, sedemikian sakitnya. Rasa sakit yang semakin hari semakin bertambah, dan tak hanya persendian dan tulang yang ingin lepas. Semuanya kini kurasa ingin melepas dari diri ini.
Butiran butiran yang dulu membantuku, kini tak kurasa mampu mengatasi semuanya. Hanya peraduan yang menemaniku, dan terkadang si Tole.

Ia masih saja seperti itu, mendampingiku dan tersenyum. Aku berbisik padanya,

"Le, adakah dia yang masih mengerti diriku? Yang kelak kan bersamaku di hari tua nanti? Yang menemaniku bertanam di kebun dan mengail ikan dikali? Adakah itu Le?"
"Ada sayang. Dia akan datang. Dia datang, dari surga hanya untukmu. Dia kan membahagiakanmu.."
"Dengan sakitku ini, akankah dia menerima?"
"Iya..dia akan terima. Dia akan menerima semuanya. Semua dari dirimu, melatiku".
"Ah, jangan panggil aku melati. Aku malu".
"Tak perlu malu. Cepatlah sembuh melatiku. Cepatlah engkah tersenyum, tertawa. Kuingin menari bersamamu".
"Kamu mau menari bersamaku?"
"kenapa tidak"
"aku ceking sekarang. Tak lagi sesegar yang dulu"
"semua akan kembali padamu,..yakinlah"
"semua? payudaraku juga?"
"aha....nakal yah..."
"Le, kamu membuatku tersenyum,.."
"aku tahu.."
"tapi aku masih tidak percaya, adakah ia yang mau menerimaku? Lihat ini, Rambutku rontok semua, badanku...layu"
"Optimis donk, wahai melatiku. Kamu kan memiliki kembali rambut ikalmu,..yang kan berkibar tatkala angin nakal menyelisik dibaliknya,..dan kamu akan kembali sexy...hanya saja.."
"hanya saja apa.....?"
"kamu ...kamu musti bersama pengasuh lain...mentari pagi yang kelak mengasuhmu.."
"yakinkah kamu ia menerimaku..?"
"yakin..."
"Le...."
"iya...."
"jika saja aku tak mampu menyelesaikan ceritaku ini....maukah kamu melanjutkannya..? Melanjutkan kisah yang kan membuat mereka menoleh, dan membuka hati kepada mawar berduri sepertiku..?"

Aku tersenyum. Yah, hanya bisa tersenyum.
Si Tole benar, akan ada dia yang datang padaku.
Di pelupuk mataku hadir senyum lembut Bunda, yang kulihat dengan ikhlasnya mencintaiku.
Ibunda, persinggahanku, dan ia yang singgah.
Tapi tidak, ia yang singgah tuk sekedar melepas dahaga.
Ia yang singgah tuk menyirami, tuk menyuburkan mawar layu ini.

Aku merasakan keteduhannya, ia yang kutunggu telah tiba.
Tole akan melanjutkan cerita ini. Aku yakin, aku akan melihatnya dari sana. Yah,..dari sana...

No comments: