Friday, December 06, 2002

Penggalan dari Terboyo:mereka yang perkasa.



Setiap sosok yang menghabiskan hidupnya, atau setidaknya sebagian waktu hidupnya di terboyo,
memberikan satu makna yang selalu layak tuk di kenang dan di catat.
Mereka yang perkasa, mereka yang menang, dan mereka yang tersingkir.
Selalu menarik tuk disimak, selalu menarik tuk dilihat.
Setidaknya tuk berkaca, tuk melihat dan memoles diri kedepan.

Dalam ingatan si Tole, banyak sosok yang layak diingat tuk mereka yyang perkasa,
yang kalah dan tersingkir. Pelajaran ada dimana mana, dan makna hidup bukan
di sebuah rumah yang megah, bukan juga ada di balik kaca sedan mewah.
dan ia pun bukan datang dengan sendirinya. Harus dicari. ya, dicari dengan kepalan tangan,
dan tetes keringat dan air mata. Disana kedalaman makna itu kan terasa.

Di terminal semacam terboyo, ritme kehiduapnnya selalu begitu dari waktu ke waktu. Kedatangan, keberangkatan bis adalah sesuatu yang biasa.
tapi, di balik keberangkatan dan kedatangan bis itu, banyak perut menggantungkan kehidupannya. Pengusaha rumah makan, kios makanan,
tukang semir, pedagang asongan, pengamen, calo, sampe tukang copet. Semua ada, tergantung bagaimana anda melihat peluang nyari besaran yang namanya rupiah.

Kedatangan dan kepergian bis bis itu, tidak asal jalan, juga tidak asal parkir. Ada satu system yang mengaturnya, ada banyak kepala berperan didalamnya.
Setiap PO (Perusahaan Otobis), untuk tiap trayek, telah mempunyai satu jadwal yang tak bisa di ganggu gugat oleh bus lain. Kelamaan parkir satu bis di
tempat parkir, berarti kerugian bagi ia yang ada di belakangnya. Masalah ini seringkali menyulut keributan hanya karena ulah satu atau dua sopir yang berlama lama mencari penumpang.

Karena itulah, di terminal, untuk tiap bus terdapat satu team perwakilan yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan jadwal parkir dan keberangkatan. Biasanya seorang Kepala perwakilan
bertanggung jawab masalah ini yang dibantu mereka yang bekerja kepadanya sebagai tekyan. Sitik tapi lumayan (sedikit tapi lumayan), yang bagi orang awam yang tak tau seringkali di anggap calo.

Seorang kepala perwakilan, yang sering di sebut mandor, yang cukup dikenal disana adalah seorang batak, bermarga harahap. Harahap, panggilannya, pak harahap, sopannya.
Lelaki bersosok kecil, legam dan keras. Tinggi tak lebih dari 160 cm, postur ngga gede,
dan cukup langsing tuk tidak mengatakannya kurus. Mata tajam, rambut sebahu, kriting.

Sebagai kepala perwakilan dua buah bus antarkota,
pak Harahap bertanggung jawab penuh pada proses pemberangkatan dan berharap banyak pada kedatangan bis yang dia komandoi. Karena lumayan,
ketika satu bus datang, dan berangkat, untuk seorang mandor adalah 5 - 25 ribu, tergantung dari ramainya terminal, sementara setiap anak buahnya bisa dapat 500 rupiah sampai seribu.

Mari kita lihat lebih dekat sosok tua ini.

Terkadang, ketika terminal sepi, ia terlihat gontai.
Sebaliknya jika ramai senyum ceria menghiasi bibir itemnya.
Tapi ramai juga tidak selalu membuatnya tersenyum. Ketika ramai, tapi bisnya ngga masuk,
sumpah serapahnya tak jarang terdengar. Biasa.

Pak harahap dengan si Tole, cukup akrab. Seperti juga keakraban sesama penghuni terminal lainnya.


Ada satu kebiasaan menarik yang selalu di lakukannya di warung padang si Tole.
Ia tak pernah mau minum kopi, dari warung itu kecuali kopi favoritnya yang biasanya
dia bawa sendiri. Sebuah merk terkenal di semarang, Kopi Tugu Luwak. Lebih enak, ngga seperti kopi jagung yang ada di warung Tole. Begitu katanya dulu.
Rutin hal itu dilakukannya setiap pagi, sambil menunggu jam keberangkatan bis nya.

Tegur sapa, basa basi, atau nasehat tua seringkali terdengar dari mulutnya. Sapaan sapaan ringan si tole, terkadang di tanggapi dnegan gurauan, kadang dengan sumpah serapah,

"Gimana pak? Rame?"

"Rame apane? matane asu kabeh!!" Terminal kayak kuburan!!"

Yah, seringkali ia berserapah dengan bahasa jawa berlogat batak, wagu.

Sebagai orang yang sama sama mengembara, dan jauh dari kampung halaman, terkadang perasaan rindu kampung halaman itu muncul. Pak harahap, sering merasakan itu. Klo dah gitu,
biasanya ia bercerita tentang kampung halamannya. Bagaimana rumah tetangga satu sama lain saling berjauhan, kenapa sampe muka orang batak terlihat khas, dan bahkan sampai bagaimana perkawinan diatur disana.

Klo dah menyiggung masalah perawinan, terkadang ia begitu berapi api membanggakan adatnya. Menurutnya dulu,setiap marga disana, sudah ada "jatah" kepada marga yang mana, yang bisa menikah, dan mana yang tidak. Sanksi adatnya, menurutnya cukup keras, sampai sampai seseorang bisa di keluarkan dari keluarga. Benar begitu? Ngga tau dee..:) Dengan bangga kemudian ia bertutur,

"Makanya, perkawinan di desa kami tu bermakna tinggi. Ngga bisa sembarangan. Urusannya ngga hanya satu atau dua keluarga. Nama marga dibawanya."

"Ngga kayak disini,"tambahnya. "Kawin dan lahir bisa di kolong jembatan"

Huh, klo dah kluar gayanya kayak gini, si Tole, hanya senyum kecut, sambil memaki dalam batin,"semprul"
Begitulah dia, ceplas ceplos. Klo ngga kenal, mungkin menganggapnya rasis. Tapi dia tidak begitu. Kepada siapa yang bertutur sapa padanya selalu dijawabnya, walo jarang dengan senyum.

"Saya misalnya,"lanjutnya," Saya kawin sama orang jawa. Kalo nanti saya bawa istri saya pulang, yang menyambut bukan hanya keluarga saya. Tapi Keluarga besar saya. Terus diadakan upacara mentasbihan menjadi keluarga besar kami, dan istri saya akan menggunakan marga yang sepasang dengan saya. tapi, ya itu tadi..butuh biaya banyak. Makanya saya belom bawa pulang".

Tentang orang orang batak, si tole pernah bertanya,

"Pak, knapa se tampang orang batak keras keras..?"

"Batak mana dulu? Batak yang lahir di Batak, atau yang lahir diluar batak?"

"Apa Bedanya?"

"Beda. Yang kamu bilang keras itu, biasanya batak yang lahir di Batak. Air disana kadar kapurnya tinggi. Beda kalo kamu lihat batak yang lahir di luar batak. Tuh, lihat Nadya Hutagalung. Apa ada tampang kerasnya? Malah mulus kan, kamu juga bakal ngiler sama dia"

Hehhh,..sedikit pertanyaan, banyak jawaban. Pernah pula dulu Tole bertanya tentang keluarganya, berapa anaknya, dan bagaimana sekolahnya. Si Tole terkesima mendengar jawabannya,

"Anak saya tiga, semua lelaki. Satu kuliah kedokteran di Undip, yang nomer dua SMP, dan yang paling kecil masih SD. Biar bapaknya kayak gini. Bajingan terminal, tapi tidak anak anak saya.
Kamu tau? yang paling kecil, yang Kalo saya berangkat pagi begini,..sudah siap dia dengan sarung dan sajadahnya. Rajin sholatnya. yang besar, sudah membereskan semua pekerjaan rumahnya. Ibunya tinggal belanja dan masak,"tuturnya bangga.
"lalu,"tambahnya, "kalo saya pulang malam hari gitu,..jarang saya tidak mendengar suara ngaji di rumah. Sekali lagi, bapaknya boleh bajingan, tidak anaknya."

Tole Terharu, termenung dan tersenyum kosong. Tak dinyana, seorang yang begitu keras di hadapannya, begitu sayang kapada anak anaknya, begitu bangga dan terlihat penuh kasih sayang. Ia ingat sesuatu yang hilang dari hidupnya, tapi hanya bisa membatin, dan mengeluh dalam hati. Terbayang di matanya,
kewibawaan seorang harahap dalam keluarganya, hingga mampu membangun semangatnya mencari nafkah jadi orang terminalan yang penuh tantangan dan mendidik anak-anaknya tentang agama. Begitu ya, tanggung jawab seorang bapak..

Satu hari, dan berlanjut sampai seminggu lamanya, wajah pak Harahap tak nampak di terminal. Ada sedikit pertanyaan, kemana dia? Sakitkah?
Oww...ternyata, ia menyunatkan anaknya yang kecil. Dari cerita, anak buahnya, Harahap lagi duwe gawe. Dan cerita pak harahap sendiri kemudian hari,
anaknya disunat setelah khatam membaca AlQuran. Alangkah bangganya dia. Yah, yah yah,.kebanggaan lelaki yang membangun hidupnya diatas tetesan keringat....bukan tetesan warisan. Ia, begitu perkasa. Sebuah cermin yang berharga.


Begitulah terboyo. Banyak yang perkasa, banyak juga yang kalah. Harahap, satu diantaranya. Beberapa yang lain, jelas merupakan cermin lain yang juga tak bisa begitu saja diabaikan.
Ada si Gendut yang membiayai sekolahnya dengan jualan koran setiap pagi, yang seringkali Tole pinjam dan bantu ngasong. Lumayan, jualin beberapa korannya si gendut ada imbalannya, walo ga seberapa. Ada pula si Midun yang setiap harinya membawa kacang rebus atau pisang rebus dari Pati ke terboyo di Semarang, tuk membiayai hidup istri dan seorang anaknya. Ada juga bapak bapak lain, ibu ibu lain, yang menumpukan hidup di terboyo, bukan karena belas kasihan atau sedekah mereka yang berlebih, tapi dari usaha dan kerja kerasnya sendiri. Memang, dimana mana lebih enak makan hasil keringat sendiri...terasa nikmat dan penuh rahmat.

Begitu juga dengan gudang garam ini, yang..uhmmm..tersisa dua batang disana...

No comments: