Wednesday, December 04, 2002

Lelaki Muda Itu Dengan Masalahnya




Lelaki muda itu datang kedalam kamar. Seperti biasa ia duduk dan mengisap rokoknya. Seperti biasa pula, gudang garam favoritenya. Favoriteku juga. Namun, tidak seperti biasanya, kali ini sedikit berbeda. Ada sembab dimatanya, ada pucat di wajahnya. Padahal Ia datang padaku kali ini untuk memintaku mengantarnya ke terminal Ubung, untuknya pulang ke kota kelahirannya. Bukankah semestinya ia riang, bahagia dan bangga? karena tak lama lagi ia akan bertemu keluarga, kawan dan teman. Mengapa juga masih murung? Bukankah smua itu membahagiakan? terlebih telah dijalaninya ibadah puasa dalam bulan Ramadhan ini, walau berulangkali jebol. Hahaha.

Tak lama ia duduk di belakangku, ia mengaku baru saja menangis. Ia dalam kesedihan, teramat dalam. Begitu katanya. Aku terkesiap. Rada terkejut namun biasa. Lelaki satu ini, memang menyimpan banyak cerita. Cerita yang tak sederhana tentang makna hidup. Hidup yang tak sekadar hidup tentunya, karena ia telah melampau beberapa hal di depanku.

Ia mulai bertutur, tentang masalahnya berulang kali bicara, "Ada apa se? Ngomong dong! Jangan lo pendam sendiri. Masih ada gue man. Keluarin, keluarin, keluarin!"

Aku terbaring di kasur kamarku, dan ia mulai cerita. Tak terlalu panjang, namun cukup untuk mengungkap semua. Baik akan kuceritakan apa yang diungkapnya, juga beberapa kisah yang melatarinya.

Begini, Ceritanya.

Lelaki ini kawan kental, sobat yang telah teruji bagiku. Tidak sepertiku, Ia sudah menikah. Menikahi kawan kostnya, yang kemudian bisa kamu tebak, ia mengenakan gelar master bisni. Hehehe, MBA. Yeap, begitulah adanya, awalnya. emosi dan gelora muda mengalahkan segalanya. Maka menikahlah ia. Sebuah niat mulia, sebuah pertanggungjawaban.

Lalu, cerita bergulir. Panjang, dan berliku. Kuliahnya ga beres, karena ia kini bukan ia yang dulu. Kini ia harus berpijak di dua sisi dunia yang berbeda, yang masing masing menuntut peran yang tak ringan. Sebagai mahasiswa yang harus menempuh proses pembelajaran dan sebagai kepala rumah tangga nyang harus menafkahi keluarganya. Sebuah pilihan harus diambil. Bukankah masing masing berjalan menurut masanya? Tak bisa kan kita hidup di dua masa yang berbeda, sementara pijakan yang kita ambil jauh dari kokoh.

Selanjutnya, ia membuat sebuah pilihan. Pilihan yang logis untuk kondisinya. Ia harus bekerja dan menghidupi keluarganya, yang kemudia datang mimpi buruk dan trauma baginya tatkala darah dagingnya tak mungkin lagi terlahir. Istrinya keguguran, dan ia trauma. Begitu beratkah kejadian ini? Tentu. Ada bagian jiwa yang jauh dari siap, ada bagian batin yang masih ingin meriak.

Proses yang terjadi kemudian, adalah kekosongan jiwa. Keraguan dan bimbang. Apalagi ia membaca banyak ayat yang mengatur pernikahan dalam agama. Kebimbangan ini semakin menyeruak. Keabsahan pernikahannya ia pertanyakan sendiri. Disamping waktu yang memang tak pernah memihak pada manusia. Waktu terus berputar, dan berbagai tuntutan ada padanya. Kini dirasa, begitu banyak beban yang dia harus jalani. Ia merintih.

Ditambah lagi, psikologis sang istri yang jauh dari performa terbaiknya dulu, ia semakin bimbang. keinginan menyelesaikan kuliah kembali bangkit, dan sang istri ini dianggapnya hanya beban, dan merebut waktunya untuk menyelesaikan kuliahnya. Pantaskah perasaan ini muncul dalam sebuah rumah tangga? Walo belom ngalami, aku menjawabnya TIDAK.

Berbagai kemelut ternyata menyelimuti perjalanannya. Tak semua kan kusampaikan disini. Mungkin nanti. Hanya saja, sebuah kejutan ia ungkapkan dari kalimatnya terakhir.

"Kemaren kemaren aku berdoa, agar aku pisah dengan Ia (istrinya). Aku merasa sekarang doaku terkabul. Tadi aku nelpon dia, yang (yang lagi di rumah ortunya), dan kukabarkan klo aku akan pulang kerumah. Ia marah, dan merasa tak dihargai. Aku ingin pisah dengan dia".

Wow. Berpisah? Semudah itu? Menakjubkan. Itu dalam pikiranku. Semudah itukah? Ya mudah. Sangat mudah. Hanya dengan menyampaikan satu kalimat, "kamu saya talak 1", sah lah perpisahannya. Namun, taukah anda dengan yang namanya proses? Dan bagaimana anda melihat ini? sebuah masalah kan? bukankah dengan satu kata pisah itu artinya melarikan diri dari persoalan, setelah apa yang mereka lalui? Atau hanya ego yang harus berkuasa dalam diri hingga apa dan bagaimana perasaan orang lain terabaikan? Ah, manusia memang aneh. Berani memulai, tak berani didalamnya. Butuh keberanian, untuk hidup, tulis sebuah buku.


Apa kataku kepadanya kemudian? Ini dia.

"Man, elo boleh, ngomong pisah. Cerai. Mudah, mudah saja. Lo tinggal bilang talak satu padanya, sah sudah perpisahanmu. Tapi coba pikir, apa itu menyelesaikan smua? Apa elo hanya nuruti egomu aja yang sekarang ingin pisah? Klo elo nurutin itu, gue bisa bilang elo hanya butuh tempik-nya dulu itu, resikonya sekarang, susahnya elo ga mau. Klo elo bilang kluargamu, ibumu ga bisa nerima, dia yang ga pede, ya elo atasi berdua. Selesaikan berdua. Jangan hanya mikir gampangnya untuk pisah. Pernahkah elo berusaha menempatkan diri di posisinya? saat ini misalnya? ketika ia dirumah orang tuanya, bagaimana perasaan dia? apa kata tetangganya, yang mungkin bertanya, kemana laki elo, kapan dia pulang. Bukankah itu tekanan buat dia? Bagaiamana klo elo disana?"

"Man..gue lom pernah ngalamin ini, but gue pikir simple aja. Elo coba tempatkan diri di posisinya".

Yeah, singkat cepat aku sampaikan itu, sebelum bergegas mandi lalu mengantarnya. Ia termenung dalam kamar, dan gelisah. Matanya masih sembbab, dan kegelisahan berkuasa disana. Lalu kuantar ia ke terminal dan meninggalkannya disana. Dalam batin aku berbisik,"Man, itu medan pertempuran elo. Harga diri dan kelelakian. Aku pun sama, memeiliki pertempuran sendiri. Dan kini belum usai. Entah kapan akan usai, aku tak tau. Yang pasti Aku takkan meninggalkannya. Pertempuran batin, emosi dan harga diri. Aku lelaki.".

No comments: