Answer for a lil que
Hey hey hey...
ada sebuah pertanyaan menarik diawal tahun ini, dari seorang sobat yang baru saja, memulai sebuah persobatan, melalui perkenalan yang sebenarnya biasa-biasa saja, namun menjadi agak lain, mengingat waktunya. Yeap, pada menit-menit akhir menjelang ganti tahun, tahun lalu itu. Ia menjadi perkenalan terakhirku ditahun 2002. Awalnya, aku mengira ia adalah temen seangkatan di kampus mengingat nama yang nyaris sama, namun ternyata bukan. Kawan seangkatanku itu, namanya Cok Istri Nila Laksmi, namun yang baru saja aku kenal ini, dengan segala kemiripan, ternyata namanya bukan itu, melainkan Cok Istri Laksmi Dewi, yang pertama kusapa, kutanyakan apakah ia Cok Amy kawanku itu. Biasa saja sebenarnya, perkenalan awal yang berawal dari salah kira atau salah sangka. Tapi, ujung-ujungnya tetap saja sama:berkenalan.
Lalu, kenapa dan ada apakah gerangan hingga aku menulisnya disini? Sesuatu yang luar biasa? Ya, begitulah. Bukan dari sosoknya, karena memang belum bertemu, melainkan dari sebuah email yang ia kirim kembali, reply dari emailku sebelumnya sebagai tanda kesopanan say hello ke kawan baru. Dalam balasannya, ia --tanpa tendensi apapun-- mempertanyakan atau lebih tepatnya meminta pendapatku tentang dua hal yakni, tentang nasib dan teman. Apakah aku percaya pada nasib dan bagaimana pendapatku soal teman. Pertanyaan yang sederhana sebenarnya, namun punya makna yang dalam. Karenanya, kutulis disini agar jika jawabanku ada yang kurang, ada kamu, kamu dan kamu, yang kiranya bisa melengkapinya. Inilah dasar sebenarnya, mengingat dua hal itu seringkali mengaduk emosi dan perasaan kita.
OK, bagaimana jika dimulai dengan sebuah pengalaman?
Satu sore, di tahun 1996, ketika aku melintas di gang menuju kost ku, aku melewati sebuah rumah kost kawan lain, yang adalah kakak kelasku. Aku diminta mampir dan singga ke tempatnya. Lalu mampirlah aku, yang rupanya dalam salah satu kamar dirumah itu, ada sebuah pesta kecil yang menarik. Arak bali, seloki, dan musik techno. Menoleh kedalam kamar itu, seorang lelaki gondrong
yang rambutnya lebih panjang dari rambut simanja, memerah dan sepertinya pecah-pecah. Matanya tajam, menatapku tajam. Sudah ON rupanya dia. Lalu, sebelahnya, seorang lelaki lain, yang sudah kukenal sangat sangat dekat. Ia namanya Dodo. Founder SBSI di bali, yang waktu itu belum sampai pada level itu. Musik meletup-letup, lelaki gondrong tadi, menggeleng-gelengkan kepala menikmati musiknya. Di belakangku, berdiri si Barda, kakak kelas yang tadi memanggilku untuk mampir. Terdiam sejenak aku dipintu kamar itu,
sampai akhirnya Dodo mulai bicara,
"Heh, Rif!. Sini duduk. Kenalin, ini kawanku, kakak kelasmu, namanya Qoran".
Ia memperkenalkanku dengan lelaki gondrong tadi, yang ternyata bernama Qoran, yang ternyata adalah kakak kelasku sendiri, bahkan salah satu sesepuh dikampusku. Kelak kutahu nama sebenarnya adalah Ketut Suryawan, dan hubungan kami lebih dari yang terbayang di awal mula ini.
Setelah perkenalan singkat, diadakan ritual kecil bagiku, penyambutan dengan satu sloki arak yang itu merupakan kali pertama aku menyentuh minuman itu. Hangat dibadan, dan terasa ada sensasi lain. Yang pernah ngerasain pasti tahu.
Yang, terjadi kemudian adalah sebuah omongan orang setengah mabuk tentang perihal yang sampai kapanpun, akan kuingat.
Dimulai dari Dodo, ia mulai bicara.
"Rif, kamu tau Qoran ini kakak kelasmu, dia orang Bali, dia kawanku, dia temanku, dia saudaraku," setengah mabuk dan tersendat ia bicara. Lanjutnya,
"Kamu kawanku, maka dia juga kawanmu, saudaramu. Apalagi kamu perantau, jangan lupakan tiga hal ini, pertemanan, perkawanan dan persaudaraan. Jika kamu ada masalah disini, siapa lagi yang bisa menolong, selain kawan-kawanmu, saudara-saudaramu yang kau temui disini".
Sambil tertawa, Qoran menambahkan,
"Diantara kita, semua sama. Tak ada saya nak Bali, kamu nak jaba (luar). Kita teman, saudara. Bener kata Dodo, kalau kita ga punya teman, siapa yang akan bersama kita ketika kita seneng kayak sekarang, atau kamu ketika susah?"
Aku hanya terdiam dan lalu meng-iyakan. Memang sensasi arak ini luar biasa, hingga selanjutnya, diantara kami tak ada sesuatu yang terlihat baru. Suasana cair dan obrolan tentang makna pertemanan berlanjut.
Sejak itu, perbendaharaan kataku bertambah tiga kata: pertemanan, perkawanan dan persaudaraan. Sempet bingung juga aku mengartikan ketiganya, bukankah semua itu ada perbedaannya, tapi kenapa dirangkai dengan koma dan bukannya kata "lalu" yang menunjukkan tahapan? Belakangan kusadari, semua itu tak ada bedanya. Itu hanya kata, yang mungkin sedang diucapkan orang yang sudah mabuk dan memaknai semuanya dari alam bawah sadarnya. Kesemuanya, tiga kata itu, menuntut satu kondisi yang sama yakni kesetaraan. Tak peduli dia orang mana, suku apa, miskin-kaya, nakal-santun, selama mampu terjalin silaturahmi, kenapa tidak?
Dalam pertemanan, tak ada satu yang lebih tinggi tingkatannya, termasuk status sosial sekalipun. perkawanan, menyiratkan satu makna keterbukaan. Senangku adalah senangmu, sedihku terkadang juga sedihmu. Dalam persaudaraan, satu disakiti, lainnya akan sakit. Begitulah makna yang kemudian kurasa menjadi kandungan moral obrolan sore itu, yang kemudian, ia dihadapkan pada proses dalam menjalaninya. Setia dalam proses itu, adalah ujian terhadap beragam karakter manusia lain. Jadinya, tak peduli Dodo seorang pemabuk, atau Qoran yang orang Bali asli, mereka adalah teman, kawan, saudara, yang kemudian teruji kesetiakawanannya, sampai sekarang jadilah kami menjadi sebuah tali persaudaraan yang erat.
Satu ketika, aku kelaperan, ga ada duit, seharian blom makan. Aku datang kerumah qoran, dan terus terang berkata,
"wak Ran. Seharian blom makan neh, ada nasi?".
yang kemudian keluar, bukan hanya nasi, beberapa lembaran rupiah pun meninggalkan dompetnya untuk pindah ke kantongku. Kali lain, ia datang ke kost,
"Rif, ini ada tanah, luasnya sekian, coba buatin beberapa gambar rumah satu lantai saja. Butuh 5 kamar, dua kamarmandi. Di sudut sini sanggah, lainnya coba kamu atur."
Esoknya ia kembali, dan beberapa pilihan gambar denah ia dapatkan. Dan selanjutnya salah satunya kini sudah jadi sebuah rumah di karangasem. Ketika ia mau bawa gambar itu, pertanyaan singkat keluar dari mulutnya, "Sudah Makan?"
Yeap...hal-hal yang kelihatan kecil, ternyata itulah yang memelihara hubungan sebuah pertemanan. Saling menghargai, terbuka, jujur dan tidak saling memanfaatkan secara picik. Namun, itu tak berarti menegasikan cekcok dan pertengkaran. Pertengkaran, cekcok dalam pertemanan adalah warna dan sensasi lain dalam pertemanan. Keberhasilan dalam menghadapi fase ini, adalah keberhasilan
menjalani proses pertemanan. Beda pendapat, cekcok itu lumrah dan ketika kita bisa mengatasinya dengan pikiran yang jernih,
dewasa melalui diskusi yang terbuka, maka kenikmatan berteman ada disana. Sebaliknya, jika dihadapi dengan sikap kerdil, hilanglah seorang teman dalam hidupmu.
Tak jauh jauh contoh untuk ini. Vera (Ophie^), adalah salah satu contoh yang paling dekat.
Aku dan dia, kawan kenal di irc sini yang lalu berlanjut di darat. Selama kami kenal, bisa ditanya sama dia, berapa kali kami marahan, ngambek-ngambekan. Terkadang berawal dari dia, tak jarang berawal dari aku. Namun, lebih sering rasanya berawal dari aku, yang ujung-ujungnya membuat dia nangis. Ehm. Tapi syukurnya, smua itu bisa diatasi dengan tentu saja mengalahkan ego kami. Ego dia atau aku. Dan jangan lupa, dalam kondisi kayak gitu, peran pihak ketiga juga kuat. Dalam kasus aku ma vera kemaren, aku dah lama tau bahwa tujuannya baik, dan uhm..sangat baik sebagai teman, hanya saja, emosi, ego dan keakuan yang berkuasa padaku teramat kuat, hingga banyak kawan lain yang menyayangkan hal ini. Si Ika bilang, vera itu teman yang baik. Dia itu sayang ma mas, begitu kata nya.
Lalu simanja, yang juga berkata,"she is a valuable friends mas". Juga si timus, yang membodoh-bodohkan aku, "kalo bukan temen, sapa lagi yang bisa ngomong kayak gitu, mau ngasih masukan,"begitu kira-kira dulu si Timuss bicara. yah, namanya egois, gitu deh, sampai akhirnya Monik, --yang pada akhirnya tahu dari Vera sendiri tentang situasi pertemanan kami-- yang bicara. Nyerah deh gw pada ego, dan menyadari sebuah kesalahan. Kini, aku bisa senyum lagi, dan berteriak memanggilnya... "mbahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh".
Hey Cok Amy, itu sedikit penggalan kisah dan pemaknaanku tentang teman. Ada yang kau dapat? Jika kurang, kawan lain akan melengkapi.
Lalu, selanjutnya soal nasib.
Percaya atau ngga ya? mari kita lihat konteksnya.
Kalo saya bicara soal nasib, maka tak bisa dilupakan satu yang lain, Takdir. dalam keyakinanku, keduanya tak bisa dipisah, nasib dan takdir. Keduanya adalah ketentuan dari Yang Maha Kuasa, yang membedakannya, peran manusia didalamnya. Nasib baik, atau buruk, masih bisa dirubah manusia yang bersangkutan, tapi tidak dengan takdir. Takkan berubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri mau merubahnya. Tapi belom pernah saya dengar soal takdir. Adakah ia bisa dirubah? Saya belum menemukan jawaban untuk itu.
Bagaimana merubah dan perubahannya? rasanya itu ada dalam perasaan, juga tak lepas dari pengharapan. Bagaimana melihat sebuah harapan, bagaimana menempatkan harapan itu pada kenyataan, menjalaninya, melihat celah yang menghambat
atau mendukung dan sebagainya dan sebagainya, kurang lebih sama dengan yang kutulis sebelumnya. Bedanya, jika dikaitkan dengan nasib, terkadang kita menilai nasib itu dari korelasi hasil dari pengharapan dan kenyataan yang ada. Jika harapan kita tak sampai, dan jauh dari kenyataan yang ada, terkadang kita mengatakannya bernasib sial. Sebaliknya jika semuanya matching, kita mengatakannya bernasib baik. Nah dari sinilah, jelas bahwa ia bisa dirubah, tergantung kembali bagaimana kita memandang hal-hal yang melingkupi harapan itu. ATGH, istilah yang populer pada masa ORBA dulu, Ancaman Tantangan Hambatan dan Gangguan.
Semuanya tergantung presepsi kita terhadap smua itu. Bisa kan?
note: say hello to wak Ran, Dodo, Barda dan beberapa nama lain, buat Vera. salam dr sebelah kamar yang rambutnya saingan ama kamu, romantis itu lho lagu2 nya....