Wednesday, April 16, 2003

yang bersalah dari negeri dongeng...



Akhirnya, aku tulis juga kelanjutan --yang sebenarnya tidak perlu-- dari tulisan sebelumnya, cerita dari negeri dongeng. Kali ini, tulisan akan langsung pada sasaran, siapa yang bersalah?

Sebelum melangkah kesana, ada baiknya aku tegaskan beberapa hal menyangkut tulisan itu, bahwa nama-nama yang aku pake seperti adii, timuss, panca dan leak tanpa ada pretensi apapun terhadap mereka. Hanya karena hubungan satu sama lain diantara kami yang lebih dari kata sekadar, aku asumsikan mereka ngga keberatan namanya dipergunakan dalam tulisan itu. Salam hormat untuk Timuss dan Panca.

Terimakasih juga, aku sampaikan buat yang udah berkomentar, "hello br4ndy. Bagaimana kabarmu Non? sibuk dengan jadwal syuting?
salam buat momz".

Untuk mencari siapa yang salah, sebenarnya mudah karena yang menjadi moral dari cerita itu adalah hal-hal yang acapkali terjadi dalam keseharian kita, bahkan saat ini kita dihadapkan pada hal serupa pada skala dunia: Campur Tangan. Dengan sendirinya mudahlah ditebak, yang bersalah adalah sang empu, yang tiba-tiba dengan sok jagoannya mengirimkan kutukan ke putri panca hingga membuatnya menjadi kodok. Sementara tokoh-tokoh lain, mereka menjalankan perannya sesuai apa yang musti ia perani. Masing-masing berjalan menuruti takdirnya.

Pada level yang lebih sederhana, tak jarang pula kita entah itu secara langsung atau tidak, campur tangan ke urusan orang lain, entah itu teman atau orang lain yang tentunya pihak lain.

Terkadang, karena merasa lebih tau, merasa lebih berwenang, merasa lebih tua, merasa lebih berpengalaman dan segudang rasa lebih lainnya termasuk lebih setia kawan, campur tangan itu muncul. Mereka yang suka campurtangan, seolah menganggap dirinya sebagai pahlawan, walau menurut orang lain ia hadir kesiangan. Ibarat figuran,
ia muncul setelah klimaks film selesai dan menasbihkan diri sebagai pahlawan.

Sekarang, aku tarik ke pengalaman pribadi.

Pada saat-saat terakhir komunikasi aku dan monik, terdapat sebuah ganjalan psikologis yang cukup berat, yang pada saat terakhir itu pula kami berhasil mengatasi. Namun, apa daya semua yang kami harapkan tak sepenuhnya sesuai dengan harapan kami. Kenapa? pada saat-saat yang kritis itu, muncul seorang pahlawan
yang bukan lagi kesiangan, tapi kepanasan. Merasa tau banyak, merasa berhak, merasa setia kawan, ia mengambil sikap yang berbentuk satu kata yang mendengarnya saja terasa miris: teror.

Ya, ia menteror monik dengan sms-sms tanpa identitas --ICQ Lite? IM3?-- yang bertubi tubi dengan kalimat yang sungguh, siapapun dia yang membacanya mual.
Mencaci maki, mennghina, mendamprat dan merendahkan harga diri kemanusiaan. Sedih memang, menghadapi hal-hal kayak gini. Langkah-langkah yang sudah tinggal dijalankan, semua mati hanya karena seorang pahlawan kepanasan. Kendala psikologis yang sudah dengan susah payak itu kami atasi, kembali menghadang. Hingga kini.

Dear Monik, siapapun dia, tak lagi berguna untuk kita cari dan ketahui. Bahkan aku ga peduli siapa dia. Ya, seperti cerita yang lalu-lalu, ingatlah akan selalu ada onak dan duri yang mengganjal dalam perjalanan setiap insan. Terkadang ia merupakan ujian, cobaan, atau juga azab. Namun aku yakin, bukan yang terakhir itu yang terjadi karena itu berasal dari manusia lain yang pongkah.

Dan aku, semakin kangen sama kamu mon...

Denpasar, 08:49 PM 09-Apr-03


No comments: