Wednesday, April 16, 2003

Bali,..beberapa titik dibalik embun...



Tulisan ini aku tulis untuk seorang teman, yang kepadanya aku pernah berjanji tuk menulis tentang sisi lain tentang bali. Lalu, mulai darimana?

Bagaimana jika dimulai dari hal-hal yang umum? Jika kepada kita ditanyakan tentang Kuta, Sanur, Nusa Dua dengan segala kegermelapannya, atau Ubud dengan citarasa seninya, atau tentang gemerlap lain dunia pariwisata, Jimbaran dengan kafe ikan bakarnya misalnya.

Pernahkah kamu berfikir bahwa yang ada di Bali tidak hanya itu? Ada lagi kah? Tentu saja. Banyak, sangat banyak. Tapi tentu saja tidak semua bisa aku tuliskan disini. Mungkin akan bersambung menjadi beberapa tulisan lanjutan.

Sekarang kita mulai. Siap? Aha...relax...

Pohsanten, Kenangan KKN



Nama desa ini Pohsanten, yang berarti Mangga yang harum. Terdapat beberapa versi asal mula nama pohsanten, antara lain pesatan yang berarti persinggahan dari ladang kemudian Poh santen, mangga harum yang awal mulanya dulu ada sebuah pohon mangga yang harum menjadi tempat berteduh warga yang pulang dari ladang. Tapi terlepas dari apapun versi namanya, Pohsanten meninggalkan banyak kenangan di hatiku. Bahkan, satu kenangannya melekat dalam kulitku, sebuah tattoo kenang-kenangan dari kepala dusun Rangdu, salah satu dari empat dusun yang ada di Pohsanten.

Di desa itu, sebenarnya tak ada sesuatu yang luar biasa yang ada. Biasa-biasa aja, seperti kebanyakan desa lainnya, namun memberi sensasi yang berbeda tiap kali menginjakkan kaki di desa itu. Sensasi persaudaraan, pertemanan ada disana. Selama dua bulan dulu aku berbaur disana menyatu dalam keseharian masyarakatnya. Ketika kerja bakti, sekaadar ngobrol atau sesekali bersama-sama menggelar seminar. Seminar? Yeap Sekaa Minum Arak, perkumpulan minum arak.

Mengingat desa itu, ingat pula aku pada beberapa tradisi seni yang pernah kurasa ketika disana, walau bukan dari desa itu. Joged Bumbung, adalah sebuah seni tari yang lumayan erotik. Kalau di jawa, mungkin sejajar dengan tayub yang banyak beredar di jawa tengah. Joged bumbung dimainkan oleh satu sekaa yang terdiri dari penabuh gamelan bambu dan beberapa penari. Biasanya, penari-penari memulai dengan tarian yang sederhana, untuk perlahan-lahan meningkat ke yang lebih rancak. Ketika suasana mulai menghangat, satu persatu penonton yang awalnya hanya menonton menikmati tarian, satu satu terjun ke kalangan turut menari. Terkadang, tariannya aneh-aneh bahkan menjurus erotis. Setelah dua atau lima menit, mereka menyisih sambil menyelipkan beberapa lembar ribuan ke tangan penari. Penari-penari terus berlanjut, dan selang-seling berganti dengan penari lain. Seperti juga hiburan tradisional lainnya, dalam joged bumbung ini juga melahirkan idola-idola lokal tersendiri. Jika seorang penari idola muncul, tak jarang banyak penonton yang berebut untuk menari bersama, dan dengan begitu tak jarang pula cekcok dan pertengkaran terjadi. Begitulah adanya.

Turut teringat pula, tradisi lain yang ada di bali ini tak hanya di desa pohsanten. Judi Bola adil. Perjudian yang mungkin dimulai dengan kecil-kecilan, seringkali merupakan pertaruhan yang besar. Bola adil ini sangat diminati banyak orang karena hadiah yang ditawarkannya sangat menggiurkan. Bagaimana permainannya? Anggap saja anda seorang bandar, anda punya selembar papan yang terdapat cekungan tipis bergambar yang simetris dan selembar papan yang berisi gambar-gambar tertentu. Bola yang bulat, anda putar dalam papan pertama yang berisi cekungan tadi dan para petaruh memasang taruhannya pada papan satunya yang berisi gambar-gambar yang sama dengan yang ada dipapan satunya. Dimana bola berhenti,disitulah letak pemenangnya. Jika anda bukan bandar dan anda seorang petaruh, maka ketika gambar yang anda pasang tadi sama dengan gambar tempat berhentinya bola, maka bersoraklah anda karena limaratus rupiah yang anda pertaruhkan akan berubah menjadi limaribu rupiah. Menggiurkan bukan?

Tradisi lain yang berbau perjudian adalah Tajen. Tradisi ini mungkin sudah sering anda dengar, yakni tentang sambung ayam. Tajen biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu mengiringi sebuah upacara agama dan tradisi, namun tak jarang ia menjadi arena perjudian total. Tertarik terlibat didalamnya? Jika anda ingin turun kedalam arena,
minimal anda harus punya seekor ayam jago yang bernyali dan dipasang pisau tajam pengganti tajinya dan siap diadu dengan lawannya. Jika tidak memilikinya namun tertantang untuk bertaruh? cukup puaslah anda dengan mendukung satu diantara dua ekor ayam yang terlibat. Pertaruhan bisa segera dimulai setelah itu.

Ya. Banyak tradisi. Namun, ada satu nama yang tak bisa dan takkan pernah bisa aku lupakan dari pohsanten. Putu Raetaq, kepala dusun rangdu.
Sosok satu ini terhitung luar biasa. Masih muda dan sudah menjabat sebagai kepala dusun. Mantan jawara desa, namun lembut hatinya. Tak memandang kita berasal darimana, selama pertemanan dan persaudaraan menjadi baju kita bersamanya, maka ia adalah sosok yang sangat berarti.

Gumung : Buangan yang bergeliat..



Buangan? Ya begitulah. Dusun gumung adalah dusun buangan dari desa induknya, Desa Tenganan. Kenapa terbuang? banyak alasan untuk itu. Karena melanggar awig-awig adat, atau karena hal-hal lain. Desa ini terletak di balik pegunungan di daerah Karangasem. Interaksi dengan desa ini aku tak begitu lama, hanya seminggu so ga terlalu bisa memberikan informasi yang mendetail. Beberapa hal yang aku ingat adalah, bahwa mereka ingin bangkit menghapus imaji tentang orang-orang buangan yang tertinggal --ditinggal?-- dibandingkan desa-desa sekitarnya. Mereka berusaha bangkit dengan membangkitkan jatidirinya melalui simbol-simbol kemajuan fisik.

Kurun masa berinteraksi disana adalah ketika aku terlibat dalam Kepanitiaan Kemah Ilmiah Mahasiswa Ft Univ Udayana --SC boo--, yang melakukan pengabdian masyarakat di dusun itu. Mereka tak menginginkan banyak, hanya satu hal: jembatan untuk membuka diri mereka dari isolasi. Begitu parahkan isolasinya? Yeap. Sisi Utara, untuk menghubungkan mereka ke desa induk Tenganan, mereka musti naik turun bukit menapaki jalan setapak yang berliku, sedang di sisi barat, mereka terhadang sebuah sungai tanpa jembatan yang seringkali banjir yang tentu saja menghambat langkah mereka untuk memasarkan sumber alamnya. Beberapa produk dari dusun ini adalah ate, yakni semacam kerajinan tangan dari batang ate yang dibentuk menjadi berbagai pernik accessories yang cukup mahal harganya disamping produk alam
yang menjadi favoritku, Tuak. Hahahhaa, ya... tuak Gumung adalah yang paling enak se Bali. Manis dan keras. Sensasinya luar biasa. Biasanya, mereka memasarkan produkknya itu ke desa sebelah di Bungaya atau Sidemen, yang selanjutnya dikumpulkan oleh para pengepul untuk diolah menjadi berbagai produk lainnya, misalnya arak dan gula aren.

pernah aku bersama edmun kembali kesana, dan mendapati hal yang tak jauh berbeda. Masih terisolasi dan sendiri. Jembatan yang mereka minta tentu saja tak dapat kami penuhi karena apalah yang mahasiswa punya? Hanya proposal yang bisa kami ajukan untuk membantu sementara pemerintah daerahnya tak sepenuhnya berniat mengabulkannya. Mereka hanya dibutuhkan ketika pemilu, untuk diambil suaranya, dan setelahnya terabaikan. setali tiga uang dengan desa-desa dipelosok lainnya. tetap berpeluh mencari jati dirinya.

Subaya: Tarian perang yang kosong



Desa subaya, terletak di daerah kintamani. Nasibnya tak jauh berbeda dengan desa-desa tertinggal lain yang ada di bumi pertiwi ini. Kurangnya sarana pendidikan membuat desa itu terlihat kuper ditengah gemuruh arus informasi yang menjejalinya. Di desa itu, televisi sudah masuk, listrik sudah ada. namun karena tingkat pendidikan yang jauh dari memadai, smua itu membuat mereka terlihat sangat wagu menyerap semua itu. Berbahasa indonesia secara kaku, itu sudah terlihat keren disana.

Aku sempat beberapa hari berada di desa itu. Bukan kebetulan, pada saat yang bersamaan sedang dilangsungkan sebuah Upacara Agama di Pura Desa, yang setiap warga desa wajib menghadirinya. Karena kedekatan sobatku yang ada disana, mas Ipung, kami diijinkan melihat upacara itu dari dekat, namun bagi kami sudah cukup jikalau hanya bisa menonton beberapa tarian dalam pura itu.
Tarian perang adalah salah satu diantara beberapa tarian yang di persembahkan dalam upacara itu. Terdiri dari beberapa kelompok, lelaki dan perempuan terpisah. Dari gerakan dan iramanya, taukah apa yang kulihat?

Ah, ada jiwa nakal, ada jiwa berontak, ada nada protes, ada semangat....smua ditampakkan dalam tarian itu...tarian perang..persembahan untuk sang hyang widi wasa......




No comments: