Monday, April 21, 2003

Bukan Dongeng Terindah Tentang Cinta (2)



===================================

Aku masih termenung dalam kamar, ketika Eva yang bersamaku satu kamar datang dan terperanjat.
"Ya ampun shelma...ada apa dengan kamu?" Ia bertanya dengan membelalakkan mata. Mata yang bulat, memancarkan rona heran dan rasa tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Tangan Eva merengkuh bahuku seraya menatapku penuh selidik.

"Kamu. Kamu kenapa sayang..?", Ulangnya setelah pertanyaan sebelumnya tak mampu kujawab. Aku hanya terisak. Semakin erat aku memeluknya.

"Ayah...Ayah menerima pinangan keluarga Aryo..uhuu..huu..,"sesegukan aku sampaikan apa yang terjadi. Aku tak mampu melanjutkan kalimatku, karena sesaat kemudian aku dalam pelukan Eva yang memelukku erat. Airmataku tumpah di bahunya. Kutumpahkan semua emosiku padanya.

"Dan kamu memotong rambutmu untuk buang sial? Ya Allah,..shelma kenapa begini...,"tak kalah harunya Eva berkata. Aku tak lagi menghiraukannya. Semua terasa perih di hati. Adakah kepedihan lain yang tak sepedih ini?

Hari berikutnya, ketika aku telah tiba kembali di Jogja, semua terasa asing. Kurasakan seolah-olah semua mata menatapku tajam. Mereka bertanya-tanya dengan keputusanku menerima pinangan itu. Heran, mengherankan. Saran dan nasehat kemudian terlontar, namun keputusanku sudah bulat. Hanya, bagaimana aku harus menyampaikan pada Ale? Sepagian ini, aku hanya tiduran. Pikiranku kelu, suntuk, sangat suntuk. Beberapa kali kudengar telepon berdering, menanyakanku, oleh Ibu dikatakan aku tidur. Aku yang meminta itu. Aku tahu beberapa kali Ale yang menelponku itu. Tak hanya telepon, sms darinya pun bertubi-tubi masuk memenuhi ponselku. Jika sms-nya masuk, kala itu kutahu ia Online. Ia memanfaatkan ICQ untuk menghubungiku sekaligus pertanda ia minta aku Online. Aku harus bagaimana? Kutatap dinding kamar, vas bunga dan semua isi kamar kurasa menatapku sinis. Seolah mereka tau apa yang terjadi dalam hatiku dan berkata,"Wahai Nona muda nan jelita, tidakkah kau tau kekasih hatimu sedang menunggu kabarmu. Tidakkah kau kabarkan keindahan hari ini padanya? Atau kau akan mengakhiri keindahan yang baru saja engkau semaikan?"

Tidak ada keindahan hari ini. Hanya kesedihan, duka yang akan kusampaikan. Aku telah memilih sebuah pilihan yang teramat berat dan paling berat dalam hidupku untuk meninggalkan cintaku yang sedang tumbuh. Aku mencintainya, aku mencintai Ale. Aku meninggalkannya, aku menyakitinya. Sungguh, ini bukan sesuatu yang kami harapkan. Andaikan ada jalan lain, andaikan tidak ada hutang budi itu, andaikan tidak ada rasa harus membalas kasih sayang keluarga Arma, andaikan...andaikan.. ah mimpi. Tanpa kusadari kembali menetes air mataku. Dan lappie kesayanganku kurasa ia memanggil-manggilku agar aku membuka dan menghubungkannya ke dunia yang mempertemukan aku dan cintaku. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku untuk membuka dan mengaktifkan account indosatku untuk terkoneksi ke internet.

Lappie telah terbuka. Latarbelakangnya, membuatku bergetar. Lelaki muda berdiri dengan tangan berlipat di dada, tak berbaju, bertelanjang dada menatapku tajam menyimpan senyum misterius, entah untuk siapa. Dulu pernah aku tersenyum ketika di website itu foto ini dikomentari seorang kawannya, untuk siapa senyummu itu Le? Kini kutahu, senyum itu milikku. Milikku seorang. Tak peduli berapa gadis lain kan mencemburuiku. Aku memilikinya. Di lengan tangan kanannya, sebentuk gambar melekat. Sebuah tattoo, yang katanya adalah kenang-kenangan dari kepala dusun KKN nya dulu. Entah KKN model apa yang dijalaninya dulu, kok kenang-kenangannya sebuah tattoo. Padahal biasanya kan, batu marmer yang di tempel foto bersama atau vandel mika yang diwarnai macem-macem sebagai kenangan. Cukup membanggakan, lelakiku ini adalah kordesnya. Ia bisa memimpin.

Kubiarkan foto itu tetap disana, menajadi latar belakang monitor lappie kesayanganku. Mouse kuarahkan ke shortcut indosat. Setelah beberapa kali nada dialingnya bergema, koneksi terbentuk.

Mirc telah terkoneksi ke sebuah server yang cukup singkat namanya: austnet. Sebuah channel kecil yang hanya aku dan ale yang tau: #myshelma. Ketika aku memasukinya, dua nama telah hadir disana, ChanOp dan Ale. Sebuah topic yang mengejutkanku tertera disana,"Shelma,..perasaanku gak enak. Kamu baik-baik aja disana?"

Kekasih hatiku telah disana dan aku hadir dengan berita duka.

Segera setelah nicknameku terpampang dilayar lappie, kulihat dimonitor Ale telah mengetikkan dua karakter khas, titik dua dan kurung tutup. Tersenyum ia padaku. Selanjutnya,

"Sayang..baru bangun yah? Dah cuci muka? dah cantik?"

Aku tak mampu berkata-kata. Jawabku singkat, titik dua dan kurung buka. Cemberut. Dibalas Ale dengan serentetan tanda tanya dan satu kata tanya,

"Kok? Ada apa Nona Shelma?"

Aku tetap tak menjawabnya. Tak ada kekuatan untuk menggerakkan jemariku, mengetikkan apa yang harus kusampaikan. Ia kembali menulis,

"Uh. Ada apa seeeeee, kok ga mau ngomong? Tau ga dr kemaren pikiranku ga enaaakk banget. Shelma sakit? Ada masalah pas presentasi? Kok diem... Jawab dong sayang...."
"Ale,..sayang...Shelma mau ngomong..."
"apa sayang...?"

Uh. Beberapa kali aku telah mendengar suaranya. Beberapa kali pula kata sayang itu kudengar. Suaranya tidak begitu bagus, hanya memang terdengar beda. Sexy, mungkin itu ungkapan paling jujur yang bisa kusampaikan. Dan kini di depanku, ia menulis sapa sayang...terbanyang suaranya..terbayang kemesraan dalam telepon itu. Akankah kembali kudengar kata-katanya, suara sexy-nya tatkala apa yang kurasa, apa yang kupilih ini kusampaikan padanya?

"uh...mmmmmmmmm.." Sebuah Bridge. Aku belum mampu mengungkapnya.
"Kok mmm doang.. lagi M Yah?"
"Gak. Shelma lagi gak M. uh...enak aja."
"Hehehehe.. iya iya.. ngga M yg itu. Tapi M yang lain iya...?"
"paan tu?"
"Mumet?"
"ale....maafin shelma..hiks.."
"maafin? hiks?"
"alee...shelma dah khianatin kamu.....huhuuuuuu"
"Khianatin? Khianatin apa? kok tambah ga jelas gini. Sayang...tarik nafas dulu deee...tenangin pikiran..."

Tenangin? Bagaimana bisa aku tenangin. Wahai lelaki pemilik jiwaku. Ingatkah kau pada mimpi buruk yang pernah kuceritakan dulu padamu? Tentang diriku yang terpenjara dan engkau pun tak sanggup membebaskanku? Kurasa, ini lah saatnya itu dimulai. Bukan hanya bunga tidur sayangku. Ini akan kita hadapi.

"Ale...shelma dah khianatin kamu. Kemaren, ayah menerima pinangan keluarga temannya. Dan secara ga langsung, shelma menerima karena..karena pernah mengatakan mau merawat anak lelaki yang mau menyunting shelma...maafin shelma.."mengalir semuanya dari barinku.

Hening. Jam dinding serasa berhenti berdetak ketika pada akhirnya aku menuntaskan kalimat itu. Aku telah menyampaikannya. Aku telah menyampaikan berita itu padanya. Ale terdiam. Entah apa yang terjadi disana, pingsankah dia? marahkah dia? Ya Allah, maafkan aku. Ampuni aku....

Tak tahan dengan keterdiamannya, aku perlahan mengetik...

"Ale...maafkan shelma.."

Tak ada jawaban, lalu...

"Jika sekarang ale mau benci shelma, bencilah. Aku rela...." Kutulis apa yang bisa kutulis. Perasaanku galau dengan ini semua.

"mmm..itu sudah final?,"ale mulai bicara.
"final?"
"Yah.. tak bisa dirubah lagi?"
"mmm...tidak. Ayah akan marah besar jika aku menolak..aku ga bisa apa-apa.. maafkan. Ini menyangkut hubungan antar keluarga. Bahkan harinya sudah ditentukan."

Aku berbohong padanya. Sampai detik itu, lelaki ini tak pernah tau bagaimana statusku dalam keluarga Arma. Tak seorang kawanku yang mengetahui keberadaanku dalam keluarga itu. Sungguh bukan sesuatu yang mengenakkan berada dalam posisi ini.
Aku telah siap semuanya. Setidaknya, inilah yang kurasakan sekarang. Aku ingin menghadapi semuanya, sendiri.

"Aku akan ke Jogja besok,"tiba-tiba Ale bicara.
"Ha?"
"Iya..besok aku ke Jogja. Aku jemput kamu.."
"Untuk apa?"
"Aku ingin bawa kamu kesini..." Ale menegaskan keinginannya.

Akankah ia datang menjemputku? bahkan alamatku pun ia belum tau. Ini kesalahan fatal kami? Selama kebersamaan kami yang masih dalam hitungan hari ini, kami terlena dalam perasaan sayang yang tak menduga banyak hal-hal lain yang musti dipikir. Tukar alamat misalnya.

"jangan...ga berguna..."
"ga berguna? Bagaimana kamu bisa ngomong gitu sementara kita belum mencobanya,...?"
"mencoba? mencoba apa?"
"saya akan hadapi bapakmu...aku akan bicara pada Beliau..."
"pleaseeee...jangan...kamu ga perlu berkeras keik gini..."
"kenapa?"
"ale..aku sayang kamu...aku mencintai kamu....aku ga ingin kamu susah...cari gadis lain...shelma ga p[antes buat kamu..."
"gadis lain? gak pantes? sejak kapan kosa kata itu ada di benakmu myshelma?"
"sayang..maafkan shelma..."
"aku besok akan ke Jogja..jemput kamu..dan kita kesini..hidup disini..."
"ngggaaaaaa....kamu ngga usah kesini...biar shelma sendiri yang tanggung ini semua...kamu selesaiin kuliah dulu.."
"kamu? kamu sendiri? lalu aku dimana? akankah aku hanya terdiam tatkala kamu dalam kegalauan? pria macam mana aku?
Shelma sayang...yang penting sekarang kita ketemu dulu...kita rundingkan semuanya bersama...
termasuk..kalo kita musti kawin lari..kamu masih mencintai saya kan?"
"kawin lari..?"
"iya..kenapa ngga...?"
"..aduh..binun shelma..."
"..ga usah bingung sayang....shelma tenangin diri disana...yakinlah..semua akan bisa kita atasi bersama..."Kalimatnya berusaha meyakinkanku.
"..alee...shelma pusing... mo bobo aja.."
"..mmmm..iya...kamu istirahat...aku juga mau quit..mo nyiapin buat besok..."
"ah..jangan...pleaseeee..ga usah ke Jogja..."

Percuma. Ia terlebih dulu keluar.

[01:35:13] *** Quits: Ale (fly@202.95.144.2389) (Exit: aku bukan lelaki pecundang yang meninggalkanmu dalam duka..luv u my shelma..)

Aku bertambah bingung. Kerinduan untuk bertemu, keengganan membawanya dalam tarian duka yang harus kumainkan, dan ah..aku ingin memeluknya. Aku ingin menangis dalam pelukannya, aku...aku ingin memberikan keindahan pertamaku padanya..hanya padanya. uh harus bagaimana ini.??

Taukah engkau apa arti keindahan pertama bagi perempuan? Adalah persembahan kesucian dan kehormatan untuk orang terkasih, orang tercinta. Ini mungkin berbeda dengan lelaki. Seorang perempuan akan berfikir seribu kali untuk menyerahkan kesuciannya. Seorang lelaki, bisa saja keperjakaannya hilang disembarang tempat. Kompleks pelacuran, WC kamar mandi juga karena berbagai sebab. Tangan yang berlumur sabun atau oli mungkin dua diantaranya. Sedang perempuan? tidak semudah itu. Walau, ada memang
perempuan lain yang menganggap itu bukan sesuatu yang penting. Itu urusan mereka. Bagiku ia adalah kehormatan. Ia adalah cinta kasih. Hanya orang yang kucintai yang berhak menyentuhku. Ini sumpahku.

Lelah aku berfikir, tak kusadari aku terlelap karenanya. Lelah, sungguh lelah.


====================


Dari jauh, rumah kost itu tampak besar dan rasanya setelah kembali kuperhatikan, ia bukanlah berbentuk sebuah rumah. Rangkaian kamar-kamar kost tepatnya, yang beratap asbes warna putih. Aku belum tau bagaimana tampak mukanya, karena dari tempatku memandang sekarang yang terlihat adalah bagian belakangnya. Di bale tepi pematang sawah ini aku terus memandang. Bale apa ini namanya? Ale dulu pernah cerita tentang beberapa keunikan bangunan bali yang memiliki beberapa bale yang khas. Bale bali? bale bengong? Mungkin satu diantara keduanya. Tapi kalau dirasa bale ini ada di tepian pematang dan di pinggir jalan mungkin ini bale untuk penjaga sawah.

Tadi, ketika menuju tempat ini, aku sengaja meminta sopir taksi untuk menurunkanku disini, agak jauh dari alamat yang kutuju itu.
Aku ingin mempersiapkan langkah. Bukankah sebuah tujuan yang baik harus disusun dengan langkah yang baik?

Aku baru menyadari sesuatu yang khas disini. Bahwa ternyata, di bagian sisi kota Denpasar masih ada persawahan seperti ini.
Kost itu benar-benar di tengah sawah, yang di hubungkan dengan jalan tak beraspal menuju sebuah jalan lain yang tak begitu ramai.
Mirip dengan di Jogja, walau tidak persis. Aku ingat, ini mirip dengan salah satu impian kami berdua dulu. Kami, aku dan Ale, pernah memimpikan membina sebuah keluarga kecil yang terletak ditengah sawah, kami bercocok tanam disana, merawat tanaman-tanaman itu tumbuh dan memakan dari apa yang kami tanam. Indah, sungguh indah jika saja itu semua bisa terjadi. Mirip keluarga cemara yang hidup di alam pedesaan yang menyatu dengan alam.

Tak jauh dari tempatku memandangi rumah kost itu, sebuah kenyataan yang berbeda terlihat. Jalan raya yang di penuhi hilir mudik dan lalu lalang kendaraan bermotor, rentetatan ruko yang berdiri memanjang sepanjang jalan dan suasana khas kota besar lain seperti pedagang kaki lima, yang walau tak sebanyak di Jogja atau kota-kota lain, pemandangan itu tetap ada. Ruko-ruko itu memiliki kesamaan satu sama lain yang khas. Warna merah bata pada kolom-kolomnya. Bata gosok kata Ale dulu. Bata gosok memang sesuatu yang lazim ditemui dalam bangunan-bangunan di bali. Ruko itu rata-rata bertingkat dua, dengan tiga lantai. Untuk menghitung kekuatan strukturnya jika dilakukan secara manual, sama saja dengan kita membatik kertas dengan perhitungan-perhitungan yang njelimet. Metode yang lazim dipergunakan adalah metode takabeya, yang me redistribusi momen yang menjadi bebannya. Kata Ale dulu, setiap bangunan tidak membutuhkan syarat yang neko-neko. Secara teknis, syaratnya hanya tiga. Jumlah gaya arah horizontal, arah vertikal sama dengan nol dan jumlah momen yang bekerja juga sama dengan nol. Yang membedakan pada masing-masing bangunan itu hanyalah fungsinya bagi manusia. JIka sudah bicara tentang fungsi yang dengan sendirinya akan bermuara pada bentuk bangunan, beban dan komposisi ruangnya. Pada tingkat ini, seringkali orang-orang sipil bersebrangan dengan orang-orang arsitek. Orang-orang arsitek yang mendesain menurut fungsi dan penataan ruang, seringkali berbeda keinginan dengan orang-orang sipil yang ingin simetris-simetris saja agar memudahkan perhitungannya. Tapi kata Ale lagi, semua itu sekarang bukan masalah yang besar karena banyak software yang mempermudah analisa dan perhitungan struktur di release seperti sap2000.

Ketika Ale menjelaskan itu semua dulu, aku hanya terbengong-bengong karena memang tidak mengerti maksud-maksudnya. Tapi begitulah dia. Ia ingin aku mengenalnya lebih dari sekadar mengenal untuk dicumbu dan dirayu. Ia ingin aku mengenalnya secara utuh, termasuk mengenal kawan-kawannya. Sesekali ia bercerita tentang satu-satu kawannya, perilaku mereka, ke-khas-an yang ada pada mereka dan caci makiannya pada mereka pula.

Kembali kupandangi rumah kost itu. Akankah aku berani melangkah kesana? Menemui satu penghuninya dengan segala duka yang
pernah mengiringi kami? Setelah aku bersusah payah mencarinya dan bertanya ke berbagai tempat? Ah, kenapa perasaan ini tiba-tiba muncul? Aku merasa galau untuk melangkah.

Beberapa hari menjelang keberangkatanku ke pulau Bali ini, aku kembali menyempatkan diri online di austnet. Hampir dua tahun sejak saat-saat terakhir komunikasi kami melalui irc. Aku mencari apakah ada informasi tentang Ale. Berbagai usaha kulakukan dengan bertanya kepada beberapa chatter yang ada disana. Banyak yang aku tidak mengenalnya. Orang-orang lama sudah menghilang rupanya. Nickname ale pun sudah tidak terregistrasi. Channelnya sudah pindah tangan. Dalam beberapa hari itu pula aku merenungi smua yang terjadi dalam hidupku. Lika-liku perjalanan irc ku, perkenalan dengan ale dan sebuah rasa takjub terhadap sebuah program komputer yang menghubungkan banyak insan dari berbagai tempat, menjalin komunikasi, bahkan menjalin perasaan cinta kasih. Inikah jawaban atas kebutuhan manusia modern? Benarkah itu yang kita butuhkan? Sebuah dunia tanpa batas? JIka benar ia tanpa batas, bukankah semestinya kami tak terhadang kenyataan kenyataan pahit yang menimpa kami? Apakah ini kesalahan kami dalam memaknai kemajuan teknologi? Entahlah. Ternyata diantara wilayah tanpa batas itu, kita justru terbatas oleh pengetahuan dan ilmu yang kita miliki. Aku masih manusia. Penuh keterbatasan.

Kuangkat pantatku dan berdiri. Jika terus aku disini, takkan pernah aku menggapai langkah lebih jauh. Takkan aku tahu benarkah cintaku ada disana. Masihkah ia mengingatku? masihkah ia menantiku? bagaimanakah rupanya kini? Apapun yang terjadi, aku harus kuat. Aku masih bisa merasakan getaran-getaran batin bahwa ia merindukanku. Dalam sebuah mimpiku, kulihat ia bermunajat. Ada namaku disebut. Pada saat-saat seperti itu, batinku bergetar.

Dalam beberapa langkah, kakiku akan sampai di gerbang rumah kost itu. Sebentuk pintu rel terbuka lebar. Sebuah hardtop krem dan beberapa sepeda motor parkir di halamannya. Hardtop itu dan tiga motor yang parkir seri ber pelat DK sebuah motor lain ber pelat B. Suasananya tampak sepi, seperti tak ada kehidupan. Saat itu jam ditanganku menunjukkan jam dua siang.

Dugaanku salah ketika menduga tak ada orang disitu siang ini. Seorang ibu-ibu berdiri tampak sedang mengerjakan sesuatu.
Kuamati sekilas, aha..sedang meracik bumbu rupanya dan di depan itu rupanya sebuah warung. Sebuah warung yang menempelkan dirinya pada sebuah dinding kamar kost yang kebetulan menghadap kearah utara. Agak samar karena jendelanya tertutup.
Rumah kost itu sendiri rupanya berbentuk letter U menghadap ketimur dan sebidang lain berada di tengah-tengahnya.

Langkahku perlahan dan pasti kuarahkan kepada ibu yang tengah meracik bumbu itu. Ia tak menyadari kehadiranku,
ketika aku menyapanya,...

"permisi ibu....,"aku mulai menyapanya.
"eh eh...e lha dallah.....ngageti ae...," Ia terkejut dan tak menduga kehadiranku disana.
"Ups..,"tak kalah terkejutnya aku. "maaf..maaf bu..,"aku berusaha meredakan keterkejutannya.

Kuperhatikan, ia seorang yang berumur sekitar limapuluhan. Beberapa bagian mukanya sudah berkeriput, ada rona sayu dimatanya.
Masa mudanya tampak tak terlalu cantik, namun sumringah. Bukan etnis bali, karena tadi sepintas ia berbahasa dengan logat jawa yang kental.

"adik ini siapa dan nyari siapa?, "mulai ibu itu bertanya setelah terlepas dari keterkejutannya.
"saya shelma Bu.."
"shelma? Bukan sales kan?"
"BUkan...saya shelma..saya kesini mau ketemu Ale. Ale masih tinggal disini BU?"
"Ale?"
"injih.."
"Namamu siapa tadi nak? sel sel..."
"shelma bu..."
"shelma..?" Diulangnya namaku. Kali ini diucapkan dengan nada bertanya.


No comments: