Wednesday, July 23, 2003

Bukan dongeng Terindah Tentang Cinta (3)



Denpasar, 13 Mei 2002, Usai Nyepi.

Ale. Begitu singkatnya namaku. Secara berseloroh, kawan-kawanku sering mempelesetkannya sebagai Anak Leak. Aku adalah Anak Lelaki. Tentu saja aku lelaki. Diselangkanganku terdapat sepotong tongkat mini yang ujungnya tumpul berlubang. Sebentuk tongkat yang unik, karena ia bisa mengeras, membesar dan kemudian kembali mengendur. Tergantung situasi yang ada. Yang rada mengherankan, tongkat mini ini selalu mengeras tiap pagi juga diwaktu waktu lain ketika ada sesuatu yang inda melintas didepan mata.

Dengan sebatang tongkat mini ini, kelak seorang lelaki kan terbukti apakah ia lelaki sejati atau bukan. Apa hubungannya? begini. Banyak adagium tentang kesejatian lelaki. Misalnya bahwa lelaki sejati adalah mereka yang pernah menaklukkan berbagai puncak gunung, mereka yang merokok merk tertentu, mereka yang banyak gonta-ganti cewe. Tapi bagiku, bukan itu. Yang menjadi penentu kesejatian seorang lelaki adalah bisa tidaknya ia membuat hamil perempuan. Bukankan ujung-ujungnya disana? Dan tentu saja, berkat kerjasama yang erat antara si tongkat mini yang sering nakal dan lawannya yang merekah itu.

Ale, anak Lelaki yang kini berada dalam tahap awal kedewasaan. Belum sepenuhnya dewasa, karena aku merasa bahwa untuk bisa dikatakan dewasa, selain tidak lagi berperilaku kekanak-kanakan, seseorang musti hidup dengan sebuah kemandirian dan kematangan mental untuk menghadapi perubahan hidup. Aku merasa belum berada pada level itu. Beberapa perubahan dan tantangan hidup terkadang kuhadapi dengan tangan terkepal namun tak jarang juga aku hindari dan melarikan diri darinya.

Semua tergantung situasi dan kalkulasi. Bukankah tiap permasalahan bisa diperhitungkan? O`..lebih tepat ditimbang-timbang. Timbangan baik-buruk, untung-rugi, dan kemampuan diri. Kalau memang sebuah masalah bagiku bisa dihadapi dengan kemampuanku sendiri dan perhitungan lain tanpa emosional, tentu akan kuhadapi. Sebaliknya, jika semuanya tidak memadai kurasa lebih baik menghindarinya. Jeleknya tak jarang pula, yang kulakukan bukan keduanya tapi satu yang terakhir. Melarikan diri. Ini sebenarnya pilihan kecut namun acapkali ini juga adalah pilihan terbaik.

Apakah ini berarti sebuah karakter yang tidak punya konsistensi? Kurasa tidak juga. Menghadapi persoalan tanpa persiapan hasilnya adalah sebuah kebodohan. Menghindari masalah bukan berarti tak berani menghadapinya, namun dibutuhkan persiapan untuk menghadapinya. Tentunya diwaktu yang lain. Yang paling unik terkadang adalah kondisi yang memaksa dan tak terduga. Mau tak mau harus dihadapi, karena untuk dihindari apalagi ditinggalkan pertaruhannya cukup besar. Harga diri misalnya. Yah.

Pada akhirnya, kembali pada sosok yang menghadapi persoalan tersebut. Bagaimana sikap, kesiapan dan pengalamannya. Masing masing orang, punya pembenaran dan pembelaaan atas alasan dan tujuan yang ia pilih.

Denpasar usai hari raya nyepi masih terasa lengang. Banyak warga kota mudik ke kampung halamannya untuk merayakan hari raya in bersama keluarganya. Hari raya nyepi merupakan sebuah hari raya yang terbilang unik. Ketika hari raya Nyepi tiba, kota Denpasar dan tempat lain di pulau Bali sepi. Lengang tanpa suara. Tak ada gemuruh suara knalpot yang meraung-raung mengebulkan asap, tak ada hingar-bingar orang berlalu lalang. Sunyi, sungguh sunyi. Kalaupun ada suara kendaraan melintas di jalan raya, bisa diyakini itu adalah ambulance atau kendaraan untuk sarana darurat lain. Untuk kendaraan-kendaraan itu, memang diberi ijin khusus untuk tetap beroperasi sesuai kebutuhan.

Malam harinya, semua gelap. Tak ada lampu yang menyala, kecuali nyala lilin untuk rumah tangga yang mempunyai bayi atau karena situasi khusus yang membutuhkan penerangan semisal ada orang sakit. Suasana hari raya itu begitu khusuk. Walau memang tak bisa dipungkiri terjadi satu-dua pelanggaran karena memang tabiat manusia yang suka melanggar aturan.

Hari belum begitu siang, ketika aku pergi ke wartel untuk nelpon Shelma di Jogja. Ada kerinduan yang memuncak dalam ubun-ubun kepalaku untuk sekadar mendengar suaranya. Dering bunyi telepon berbunyi diseberang sana. Seorang ibu menjawab dan memberitahukan bahwa Shelmaku sedang terlelap dalam tidurnya.

Adakah Ia memimpikan diriku? Bagaimana rupaku dalam mimpinya? Segagah aslinya? Semoga saja. Aku masih belum tau banyak tentang kekasihku ini. Kami saling mencintai tanpa basa basi. Berhubungan cinta kasih tnpa pernah berjumpa. Kesemuanya itu lewat sebuah media interaktif yang sangat memukau diriku. Internet.

Yeah. Ketika berada dalam lingkup itu, semua terasa begitu luas, besar dan tanpa batas. Menjadi siapa saja bukan sesuatu yang sulit. Sebaliknya, yang sulit adalah menjadi diri sendiri seutuhnya. Terlebih melalui pogram relay chat yang populer seperti mIRC. Komunikasi melalui text tak jarang mendistorsi siapa kita, bagaimana kita. Maka kurasa, tantangan terberat bergulat dalam dunia itu adalah menjadi diri sendiri. Bisakah seorang Ale tetap apa adanya Ale walau hidup di dunia cyber? Aku menjawabnya bisa. Aku telah mencobanya dan aku menjadi diriku sendiri.

Sampai satu ketika aku bertemu Shelma, dirikulah yang muncul. Ia pun begitu. Ditambah berbagai kebetulan yang mengiringi, dan dengan kedalaman tekad aku bertekad menyatukan semuanya dalam sebuah tali cinta. Agak sulit menggapainya pada awal mula aku mendekat, namun pada akhirnya aku meraih hatinya. Sungguh ini sesuatu yang luar biasa, ketika aku menghadapi rencana kerja mempersiapkan sebuah tabloid bersama kawan, aku bertemu dengannya yang juga mantan aktivis pers kampusnya. Disaat yang sama batinku membutuhkan sentuhan lembut intuisi perempuan. Aku menemukan semuanya pada diri Shelma.

***


"..if he love you....
....like I love you....."

When we dance. Sting melantunkannya dengan penuh perasaan. Lagu itu mengalun lembut dari komputer dalam ruangan 4x5 meter persegi, sebuah warnet yang menjadi langgananku. Situasi warnet yang sangat personal dan hening membuat lagu itu terasa beda untuk di nikmati.

Sebuah komputer berprosesor pentium 233mmx ada dihadapanku. Sebuah mesin kecil yang telah merubah wajah dunia. Wajahku juga. Sering aku menjadi pucat karena berlama-lama berinteraksi di dengannya. Sampai saat itu, aku belum memaknai makna yang tersirat dalam lagu itu.

Keadaan berubah 180 derajat satu jam kemudian. Perasaanku yang sejak malam sebelumnya gelisah dan When we dance yang dilantunkan Sting rupanya sebuah pertanda akan sebuah perubahan yang besar.

Shelma dijodohkan orangtuanya dan Ia menyetujuinya tanpa mampu mengelak.
Entah kenapa. Padahal, hari yang sama ketika kami jadian, Ia pun menuturkan bahwa ia sedang dilamar oleh keluarga kawan ayahnya namun ia berani menolak.

"Semua diserahkan pada Shelma untuk mengambil keputusan,"katanya pagi itu.

Aku hanya bisa bergumam dalam hati,

"Ya Tuhan, dimanakah engkau kini? Ujian apalagi ini?"


Terbayang situasi yang dihadapi Shelmaku. Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hingga Ia tak mampu menolaknya. Ini yang aku belum tau. Kupandangi fotonya di web kesayanganku. Terbayang ia menangis. Mata indahnya basah, sembab. Gejolak emosiku meluap. Aku akan menjemputnya. Tak ada kata lain.Aku tak ingin meninggalkannya sendiri, aku tak ingin melarikan diri dari masalah ini.
Bukankah jika kami bisa bertemu, kami dapat menghadapinya bersama-sama?
Bukankah ada pepatah berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing?

Semua itu ada tentu bukan tanpa alasan. Dalam pikiranku, ketika kami bertemu nanti, kami bisa bahas banyak alternatif pemecahan masalah ini bersama-sama.
Bahkan jika perlu menghadapi Ayah Shelma untuk mengutaran perasaan kami sebenarnya. Orang tua manapun, tetap adalah manusia yang masih bisa diajak bicara. Orang muda mungkin emosional, tapi tidak selamanya salah. Perubahan selalu ada di kamum muda. Dan itu telah kusampaikan padanya. Shelma berkeras melarang, namun terlambat dan tak lagi berguna. Aku telah mengambil keputusan.

Warnet itu segera kutinggalkan. Hatiku bergejolak. Tornado kesayanganku kupacu penuh emosi. Lelaki manakah yang akan terima kekasihnya dijodohkan dengan orang lain? Tamparan yang terasa amat perih di hatiku.
Eh, emangnya hati bisa ditampar?

***


Stasiun Lempunyangan, dua hari kemudian.

Stasiun lempuyangan terlihat ramai pagi itu ketika kakiku menginjakkan kaki untuk
kali pertama aku menjalin cinta dengan Shelma di jogjakarta. Situasi di stasin itu tak jauh beda dengan keebanyakan stasiun lain di berbagai kota di bumi pertiwi ini. Sepanjang peron stasiun dipenuhi pedagang jajan dan oleh-oleh khas kota ini.
Disini, bakpia bathok menjadi menu utama. Di semarang, jenang kudus dan wingko babad. Selalu ada yang khas di setiap tempat yang aku singgahi.

Pagi tadi di surabaya, ketika aku transit dan kereta mutiara timur yang berakhir di stasiun gubeng dan hendak melanjutkan perjalanan ke Jogja, aku sempat meelpon Shelmaku. Apa yang aku dengar tak jauh berbeda dengan beberapa waktu sebelumnya. Memintaku untuk tidak berangkat dan tadi pagi, memintaku membatalkan perjalanan ke jogja ini. Ia berkeras ingin menghadapi semuanya sendiri. Huh, mana bisa? Bagiku, sekali langkah diayunkan, pantang aku tarik mundur kembali. Aha. Aku jadi ingat komentar seseorang yang kuanggap kakak di semarang, Mbak Herny.

Mbak Herny pernah bilang,
"kekeras kepalaan yang ada padamu..bisa dipositifkan sebagai sikap pantang menyerah..."
Kata-kata yang selalu kuingat...bahwa aku ga boleh gampang menyerah.
Sekeras apapun tantangan yang kuhadapi.

Pagi tadi pula, ketika nelpon itu, kembali kupertegas, bahwa aku tak akan surut melangkah.

"Aku akan tetap mencarimu Shelma...." Kutegaskan padanya.

Yah. Hanya ketegasan yang memperkuat nyaliku, yang jujur saja terasa tercabik-cabik. Sebelum kepastian keberangkatanku ke Jogja ini, beberapa kali kami saling kontak. Aku sempat menunda perjalananku sehari. sebuah masalah vital menghadang. Ketiadaan biaya. Aku terhitung sangat boros dalam banyak urusan satu ini. Tapi selalu menemukan jalan untuk smua itu, walau dengan jalan meminjam. Aku meminjam sama kawanku si Reza, sebesar ongkos perjalananku.
Ah...susahnya ia pun menahanku agar tidak berangat segera. Barang kiriman hasil cardingnya sudah tiba. Dan kenapa menahanku? ia menggunakan alamatku. Sungguh menjengkelkan.

Sempat pula sebelumnya aku mengontak beberapa kawan yang ada di kota ini.
Bagaimanapun aku harus perhitungkan banyak hal yang mungkin terjadi,
bahkan untuk sekadar menginap. Tak sulit bagiku untuk bermalam dimanapun di berbagai kota. Setiap kota aku punya tempat persinggahan.

Beberapa kali aku mengontak shelma melalui ponselnya. Mati. Hanya suara mailboxnya yang terdengar. Beberapa kali aku mencoba telpon ke rumahnya,
oleh yang menerima dikatakan shelma di kantor. blar!! dimana kantornya?
Sungguh brengsek. Ketika situasi membutuhkan, aku bahkan tak tau dimana ia berada dan dimana kantornya. Ah, terlalu asyik masyuknya kami menyelaraskan isi hati sampai hal-hal sepele kayak gini terlupakan untuk ditanya. Cinta membutakan? Apa yang kualami ini, mungkin yang dimaksud.

Dengan keberangkatanku ini pula, aku harus menempuh beberapa pilihan sulit yang aku kalahkan. Si Nico, kawan yang mengajakku memulai usaha Tabloid telah berencana usai nyepi akan menemui calon investor bersama-sama dengan Bowo kawanku yang lain. Kami akan presentasi tentang kesiapan mengerjakan tabloid itu.

Sebelum aku berangkat, persiapan-persiapan kearah sana telah kami persiapkan.
Proposal penawaran, Cash Flow, Dummy dan termasuk keuntungan sebuah tabloid. Perhitungan-perhitungan dalam menyusun persiapan tabloid itu pun tak terlepas dari berbagai kemungkinan merugi, walau Nico sangat yakin bisnis ini menguntungkan. Ia begitu yakinnya karena ia didukung seorang marketing kawan lamanya yang bisa terbilang expert. Dengan keberangkatanku ini, dua kawanku itu berangkat presentasi tanpaku. Entah bagaimana hasilnya.

"Mas,..Taksi?" seseorang menyapaku. Seorang sopir taksi.

Gelagapan aku tersadar dari lamunanku di bangku biru yang ada di stasiun itu.
Seorang sopir taksi tersenyum ramah menawarkan jasa.

"O..Ngga pak. Terimakasih. Saya mau ngopi dulu."

Kutampik tawarannya sehalus mungkin agar
tidak menyinggung perasaannya. Aku ingat bahawa aku saat ini di jogja.
Menurut cerita filsafat yang pernah aku baca, karakter orang Jogja bisa di lihat melalui Blangkon yang dikenakannya, yang mempunyai gundukan di belakang.
Filosofinya, di depan mereka akan tampak halus, dan jika punya ganjalan dalam hati akan dipendam dalam hati. Entah benar atau ngga, aku ga tau pastinya.
Yang jelas, takkan ada asap tanpa api.

Kutinggalkan stasiun itu. Kakiku melangkah keseberang jalan stasiun. Disana terlihat ada sebuah wartel dan didepannya beberapa warung kopi.
Rasanya aku perlu mempersiapkan dan memikirkan banyak hal sebelum melanjutkan langkah.

Sambil menunggu kopiku disiapkan, kusempatkan kembali nelpon Shelma. Lagi-lagi mailbox. Kutelepon tiga kawan lain dan mengabarkan aku sudah disini, dua diantaranya siap menjemput. Luar biasa. Ketika semua itu sudah selesai, kulihat segelas kopi telah menantiku. Aku berusaha menikmatinya.

bersambung....

No comments: